"Baik, Bu. Silakan Ibu bicara, secukupnya."
"Hin, Ibu kan sudah tua, Ibu tidak pernah ikhlas lahir batin  jika anak-anak Ibu bermasalah dengan hukum. Maka sebelum Ibu meninggal,  kamu harus berjanji dengan Ibu, di depan adikmu, bertaubatlah. Jangan sekali-kali kau sentuh lagi barang haram itu, apalagi sampai menggunakannya. Ingat doa Ibu itu ijabah. Kamu mau kan berjanji?"
Bu Maryam memegang kedua tangan Solihin lekat-lekat, seakan mengisyaratkan sesuatu yang tidak mampu diungkapkan.
"Ya, Bu. Solihin berjanji, setelah keluar dari penjara tidak akan pernah menyentuh barang haram itu lagi."
Bersamaan Solihin mengucapkan janji itu, mendung di langit tiba-tiba menurunkan hujan yang cukup lebat.
Bu Maryam mulutnya kembali melafalkan wirid yang biasa diucapkan setiap hari.
Waktu menjenguk pun telah habis, Bu Maryam dan Rina  kembali pamit pada Solihin. Tangan Rina menggandeng Bu Maryam menuju pintu keluar penjara. Sebelum sampai di gerbang, Bu Maryam tubuhnya tiba-tiba lemah sekali, dan terjatuh. Rina berteriak minta tolong pada para petugas penjara. Dari pemeriksaan tim medis menyatakan bahwa Bu Maryam gagal jantung dan telah meninggal dunia.
Rina segera memberi kabar Solihin atas meninggalnya Bu Maryam. Di depan jenazah Ibunya, Solihin menangis tersedu-sedu. Permintaan Bu Maryam tadi ternyata merupakan kalimat terakhir yang berupa janji Solihin untuk Ibunya.
Dua tahun Solihin menjalani masa hukuman di penjara. Selama itu, Solihin justru banyak mendapatkan hal baru, keterampilan baru yang dapat digunakan sebagai bekal kembali ke tengah masyarakat.
Banyak perubahan yang telah dilakukan Solihin selama di dalam penjara. Solihin selain selalu berkelakuan baik, bahkan suara emasnya kini mulai dikenal oleh masyarakat luas. Ternyata selama di dalam penjara, Solihin menunjukkan bakat terpendam yang lama tidak diasah. Kini dia sebagai muazin masjid di kampungnya saat  waktu salat tiba. Solihin selalu teringat pesan Ibunya, agar berada di jalan yang benar.