Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Superman

29 Maret 2021   20:45 Diperbarui: 29 Maret 2021   20:58 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Peniti, kapur barus, tambal panci, sikat, spons cuci piring," ucap Pak Nawani berkali-kali menawarkan dagangannya di seluruh penjuru pasar gede itu dari pagi sampai menjelang azan Zuhur berkumandang.

Dia selalu menawarkan barang dagangan diiringi dengan bersenandung lagu atau salawatan, sehingga mengundang perhatian  pengunjung pasar. Sementara, pedagang lain yang sejenis dengannya, tidak pernah mempunyai ciri khas seperti yang dia miliki.

Kotak tempat dagangan yang selalu diletakkan dan dikalungkan  di depan dadanya, membuat dirinya lebih banyak dikenal di lingkungan pasar tradisional itu. Berjalan di sela-sela gang kecil antar los pasar itu menjadi jalur utama dalam mencari nafkah. Jarang sekali dia keluar dari pasar tradisional itu, dan menawarkan dagangan dengan menyusuri  sepanjang trotoar.

Lelaki berusia setengah abad itu selalu setia membawa sebuah rak kecil  yang terbuat dari kardus tebal berisi beberapa barang dagangan yang tidak terlalu berat seperti kapur barus, peniti, spons cuci piring, tambal panci, sikat cuci. Di tangan kirinya sebuah tas kresek warna hitam berisi beberapa gambar binatang, pakaian adat,  dan buah-buahan sebagai barang dagangan tambahan.

Kadang juga membawa beberapa  kalender jika mendekati awal tahun baru. Dia menekuni pekerjaan yang terlihat sederhana  ini mulai  umur lima belas tahun. Setelah lulus SD, karena kondisi ekonomi keluarga, juga saudaranya cukup banyak, Nawawi kecil tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Orang tuanya hanya berpesan agar tetap mengaji, bagaimana pun keadaannya. Pesan itu pun selalu terngiang di telinganya.

Aktivitasnya, ketika masih berusia belasan tahun, selain membantu pekerjaan orang tua di rumah, juga mengaji di salah satu majlis taklim milik saudaranya. Dia termasuk salah satu santri yang pandai mengaji. 

Sejak kecil, gurunya sudah memberikan tugas untuk mengajar beberapa santri, karena dianggap memiliki kecerdasan yang lebih baik. Jadi tidak mengherankan, jika menjelang azan Zuhur, Pak Nawawi selalu menghentikan kegiatan berdagangnya dan segera kembali ke rumah, berapa pun uang yang berhasil dibawanya pulang.

Lelaki bertubuh agak tambun, berkulit putih itu, selalu terlihat ceria, maklum saja terbiasa menghadapi bermacam-macam karakter pembeli yang mengharuskan selalu bersabar. Di wajahnya tidak pernah terlihat rasa sedih, murung atau muka yang masam. Padahal bila dilihat dari sisi lahiriah, penghasilannya mungkin tidak seberapa besar, tapi rasa bersyukurnya lebih dari yang dibayangkan.

Pak Nawawi memiliki tiga orang putra yang semuanya masih bersekolah. Istrinya  sebagai ibu rumah tangga biasa. Penghasilan yang kadang tidak menentu, menyebabkan dia sering mendapat marah istrinya.

"Bu, terimalah penghasilanku hari ini," kata Pak Nawawi sambil memberikan sejumlah uang yang didapatkan hari itu setiap pulang kerja.

Istrinya menerima uang itu dengan muka cemberut dan kurang bersemangat, lalu dihitungnya uang tersebut. Kebanyakan berupa uang receh. Setelah selesai menghitung, dia terlihat agak kecewa, mukanya kembali mendung,  raut mukanya sedikit ditekuk, dan mulai protes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun