Mohon tunggu...
Zulfikar Zufikar
Zulfikar Zufikar Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Analis Lepas

Pekanbaru ibu kota Provinsi Riau, merupakan kota yang strategies, kota ini merupakan kota yang terletak ditengah-tengah provinsi Sumatera, Pekanbaru menjadi kota yang perkembangan menjadi kota metropilitan menyusul kota-kota tetangga yakni Malaka, dan Kuala Lumpur

Selanjutnya

Tutup

Financial

Jangan Berharap Kembali ke Angka Rp. 10.000

5 September 2018   09:07 Diperbarui: 5 September 2018   09:11 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Kita akan membahas bagaimana kekuatan Indonesia tahun 1998 dan tahun 2007, dalam menghadapi terpaan badai krisis ekonomi:

Yang pertama adalah cadangan devisa.

Secara nominal, cadangan devisa Indonesia memang cukup baik Akan tetapi rasio cadangan devisa terhadap GDP ternyata tidak banyak berubah. Sedikit lebih tinggi dari pra-krisis 1998 dan hampir sama dengan pra-krisis 2008. Yaitu sekitar 10% dari GDP. Jadi kekuatan bank Indonesia untuk mempertahankan nilai rupiah dari capital out-flow, tidak banyak berubah dibandingkan masa-masa sebelumnya. Ini sangat berbeda dengan Malaysia dan Thailand yang mengalami peningkatan rasio cadangan devisa terhadap GDP. 

 Berikutnya adalah neraca perdagangan.  

Indonesia mengalami kesulitan untuk mempertahankan surplus neraca perdagangannya. Antara tahun 1999 dan 2008, neraca perdagangan Indonesia selalu surplus berkat harga komoditi yang sedang booming. Setelah itu mengalami defisit dan surplus silih berganti seiring dengan harga komoditi. Dan saat ini mengalami defisit yang lumayan, $ 2 milyar (per bulan).

Memang $ 2 milyar itu tidak banyak jika dibandingkan dengan cadangan devisa yang besarnya $ 130 milyar. Tetapi kalau dilihat volume impor, cadangan devisa Indonesia cukup untuk 7 bulan saja. Memang lebih baik dari pra-krisis 1998 (3 bulan), tetapi tidak jauh berbeda dengan pra-krisis 2008 (5 bulan).

Berikutnya adalah neraca berjalan.  

Dibandingkan dengan GDPnya, neraca berjalan Indonesia boleh dikata sama dengan pada saat pra-krisis 1998. Ini tentunya bukan pertanda yang baik, walaupun tidak separah pra-krisis 1998. Karena pra-krisis 1998 Indonesia telah mengalami defisit neraca berjalan kronis selama 17 tahun, yaitu sejak tahun 1981. Saat ini baru 7 tahun defisit kronisnya.

Hutang luar negri Indonesia yang jatuh tempo dalam waktu dekat ini sekitar $ 45 milyar. Dibandingkan dengan besarnya cadangan devisa, kira-kira sekitar 40%nya saja. Dibandingkan dengan pra-krisis 1998 yang 183% dari cadangan devisa, saat ini untuk menghasilkan krisis seperti tahun 1998, masih jauh. 

Artinya, berharap rupiah jatuh nilainya sampai 85% seperti tahun 1998. Tetapi berharap kejatuhan 30% - 50% masih wajar, karena pada krisis subprime 2008, gejolak rupiah sampai sejauh itu (dari Rp9,000 ke Rp 12,000). Bedanya adalah jangan berharap rupiah akan kembali ke level yang sekarang atau Rp 13,000, setelah krisis ini berakhir seperti halnya tahun 2008 yang akhirnya kembali ke level pra-krisis Rp 8,500 per USD. 

Kali ini tidak akan kembali ke level Rp 9,000 -- Rp 13,000 lagi. Karena pada tahun 2008 -- 2012 harga komoditi masih tinggi sehingga perdagangan masih surplus dan neraca berjalan masih positif. Pada krisis yang akan datang, tidak demikian lagi situasinya. Jadi mengharapkan swing sampai Rp 25,000 -- Rp 30,000 per USD masih dalam hal yang masuk akal, walaupun akhirnya nanti akan stabil di sekitar Rp 20,000 per USD. Sehingga jagan berharap untuk kembali ke 10.000

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun