Waktu itu aku nggak pernah nyangka akan nulis satu buku utuh, apalagi dalam waktu secepat itu. Tapi hidup kadang suka kasih tantangan yang nggak kita duga. Saat ada event peluncuran karya besar-besaran, aku ditugasin buat bikin satu buku. Panik? Jelas. Tapi juga penasaran, bisa nggak ya?
Dan akhirnya, aku bisa menjawab sendiri keraguanku. Aku bisa menyelesaikan buku pertamaku dalam waktu singkat. Judulnya Kinanthi (Unforgettable Childhood), novel pertamaku, karya pertamaku, dan juga jejak pertamaku di dunia tulis-menulis.
Meskipun di dalam cerita ini sama sekali nggak ada kata "kinanthi", aku kasih judul ini bukan asal-asalan. Kata kinanthi diambil dari bahasa Jawa yang berarti bersama-sama, bergandengan, atau bisa juga diartikan sebagai bimbingan atau tuntunan. Makna itu pas banget sama isi ceritanya.
Novel ini menceritakan tentang Ayana, seorang anak yang sedang bertumbuh dan mencari dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Ia butuh bimbingan, pengertian, dan pelukan-pelukan hangat dari orang-orang terdekat, sesuatu yang menurutku, semua anak pasti butuh. Ayana digambarkan sebagai sosok anak yang punya hati tulus dan polos, seperti anak-anak pada umumnya. Ia tumbuh bersama teman-temannya yang punya karakter unik dan beragam. Kalau kalian suka nonton serial Upin dan Ipin, mungkin kalian bisa kebayang sedikit nuansa latar dan suasana yang aku bangun di cerita ini.
Beberapa bagian cerita memang aku ambil dari pengalaman masa kecilku sendiri. Jadi waktu nulis Kinanthi, rasanya seperti bernostalgia mengingat masa-masa di mana satu-satunya yang kupikirkan cuma bermain dan belajar. Masa di mana hal-hal kecil bisa terasa luar biasa.
Tapi proses menulis buku ini tentu nggak seindah kisah di dalamnya. Ada hari-hari di mana aku ngerasa kehabisan kata-kata, bahkan nangis karena cerita yang lagi kutulis tiba-tiba terasa mentok. Waktu itu aku juga nulis tanpa kerangka. Serius, nekat banget. Nulis ngalir aja, tapi kadang ngalirnya ke jurang alias bingung sendiri mau dibawa ke mana ceritanya.
Yang paling bikin frustasi adalah ketika aku nggak bisa nyelesain target harian. Karena padatnya kegiatan, aku sering banget 'berhutang' tulisan. Yang seharusnya bisa kelar hari ini, harus digandakan besok. Tapi, ya gitu deh, nggak selalu bisa ditebus juga. Akhirnya, banyak bagian cerita yang terpaksa aku potong, atau bahkan nggak sempat ditulis sama sekali. Padahal, dalam kepalaku cerita ini bisa jauh lebih panjang dan kompleks dari versi akhirnya.
Coba tebak, berapa lama aku nulis Kinanthi? Kurang dari dua bulan. Sisanya aku pakai buat revisi dan ngerombak beberapa bagian total. Mungkin buat ukuran novel pemula, dua bulan itu nggak terlalu sebentar. Tapi jangan lupa, aku juga masih pelajar. Dari pagi sampai sore aku harus sekolah, dan satu-satunya waktu buat nulis cuma malam hari. Kalau ada PR, ya harus begadang. Rasanya waktu itu kayak lomba marathon dengan deadline yang terus mengejar di belakangku.
Tapi semua lelah itu terbayar saat aku akhirnya bisa megang fisik bukuku sendiri. Kinanthi sudah dicetak, punya ISBN, dan jadi karya yang bisa kubanggakan. Meski nggak dapat penghargaan dalam bentuk sertifikat atau trofi, buku ini sendiri sudah jadi hadiah paling berharga buatku. Nggak semua orang bisa bilang "aku udah nulis buku", dan aku bersyukur bisa sampai di titik itu.
Untuk kalian yang juga lagi berjuang nulis, percaya deh: proses itu penting banget. Waktu satu tahun, dua tahun, bahkan lebih, bukanlah sesuatu yang harus kamu takutin. Karena setiap penulis punya waktunya sendiri. Dan percayalah, hasil akhirnya akan sebanding dengan usaha kalian.
Kalau aku nggak ikut event peluncuran karya ini, mungkin aku nggak akan tahu seberapa berat dan sekaligus menyenangkannya proses menulis. Mungkin Kinanthi bukan novel terbaik yang bisa aku tulis. Tapi dia tetap karya pertamaku, dan setiap awal pasti punya caranya sendiri untuk dikenang.