Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lebaran: End Game

28 Juli 2019   02:57 Diperbarui: 28 Juli 2019   03:09 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : blog.reservasi.com

Ada dua lagu terkait lebaran yang paling membekas dalam hidup saya. Kedua lagu itu  selain mampu membawa ingatan saya akan masa kecil hidup di tengah masyarakat Kelayan, juga mampu menggugah jiwa keberagamaan saya, khususnya sebagai muslim, yang bangga punya hari raya. Kedua lagu itu adalah "Lebaran" Latif M dan "Selamat Lebaran" karya Ismail Marzuki (IM).

Lagu "Lebaran' yang dinyanyikan Latif M populer pada era 70-an sampai 90. Setiap usai salat Idul Fitri, lagu itu muncul di pengeras suara langgar dan masjid. Hampir takada lagu lain saat itu. Tidak ada yang pasti kapan lagu yang diiringi Orkes Gambus Al Fata dari Pekalongan ini direkam. Liriknya sederhana, sekadar menyampaikan selamat hari lebaran dan kegembiraan berhari raya.

Lagu "Selamat Lebaran" karya IM ini agak sedikit berbeda. Lagu yang dinyanyikan oleh Didi alias Suyoso Karsono dengan iringan grup Lima Seirama ini, direkam tahun 1954 di RRI Jakarta. Lagu ini menjadi sangat popular dan abadi karena kemudian banyak artis, seperti Gita Gutawa, Tasya, dan Deredia yang merekam ulang dengan versi masing-masing.

Pada lagu inilah pertama kali istilah 'minal aidin wal faidzin' dipopulerkan. Namun, masyarakat banyak salah kaprah, bahkan sampai saat ini,  menganggap istilah itu sama dengan 'maafkan lahir batin' yang merupakan lirik lanjutannya. Padahal makna sebenarnya adalah sebuah doa "semoga kita termasuk golongan yang kembali mendapat kemenangan".

Sebenarnya istilah 'lebaran' sempat dipertanyakan.  Mengapa tidak 'hari raya Idul Fitri' saja yang lebih terasa nuansa Islamnya. Padahal istilah 'lebaran' menurut M.A. Salamun dalam tulisannya yang dimuat di majalah 'Sunda" Tahun 1954, berasal dari tradisi Hindu yang berarti "selesai, usai, atau habis". Istilah itu diperkenalkan para wali agar orang Hindu yang baru masuk Islam tidak merasa asing.

Sebagian orang Jawa berpendapat 'lebaran' dari kata 'wis bar' bahasa Jawa, yang berari 'sudah selesai'. Istilah ini akhirnya diadopsi ke dalam bahasa Indonesia dengan makna 'hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal'. Sementara, untuk Idul Adha disebut lebaran haji atau lebaran besar. Istilah ini juga populer di Malaysia dan negara serumpun.

Walaupun bertema lebaran, lagu karya IM ini juga menyisipkan sindiran kepada penguasa  saat itu. Pada dua larik terakhir berbunyi /Kondangan boleh kurangin /Korupsi jangan kerjain. Namun, lirik itu menghilang pada versi rekaman kedua. Yang tetap muncul adalah lirik doa sekaligus harapan kepada pemimpin : Selamat para pemimpin / Rakyatnya makmur terjamin /.

Yang menarik adalah bagaimana IM mengungkapkan gaya berlebaran tahun 50-an. Misalnya gaya lebaran orang desa: Dari segala penjuru mengalir ke kota / Rakyat desa berpakaian baru serba indah / Setahun sekali naik terem listrik perei / Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore / Akibatnya tengteng selop sepatu terompe / Kakinya pade lecet babak belur berabe.

Saat itu tradisi mudik mungkin belum semencolok seperti sekarang sehingga lebaran adalah saat di mana orang desa ke kota untuk berhibur diri. Namun, berpakaian baru serba indah tetaplah menjadi budaya berlebaran kapan dan di mana pun. Masyarakat memenuhi pasar dan pertokoan di kota untuk membeli baju baru, baik dipakai sendiri maupun hadiah buat keluarga di kampung.

Lebaran bukan sekadar penanda berakhirnya bulan Ramadan dan tibanya bulan Syawal. Namun, lebaran dianggap sebagai saat di mana semua orang saling melebarkan pintu -- yang selama ini mungkin tertutup rapat -  untuk menerima maaf dan memberi maaf. Maka itu, muncul ucapan dalam bahasa Banjar 'barelaan', saling merelakan akan semua kesalahan.

Berjabatan tangan sambil bermaaf-maafan / Hilang dendam habis marah di hari lebaran /, demikian bait yang indah dari lagu itu.  Liriknya seakan menjadi simpul saat bertemu Lebaran yang beberapa hari lagi akan tiba. Lebaran yang menutup Ramadan seperti akhir dari permainan atau end game dalam hidup kita sepanjang tahun. Dan 'mulai dari 0' kembali, seperti kata petugas SPBU. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun