Mohon tunggu...
Zulfaisal Putera
Zulfaisal Putera Mohon Tunggu... Administrasi - Budayawan, Kolumnis, dan ASN

Berbagi dengan Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pesek

27 November 2017   20:16 Diperbarui: 29 November 2017   10:49 2387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
broadly.vice.com | Illustration by Julia Kuo

"Abang mau nulis esai tentang apa, minggu ini?" kata temanku kepala sekolah itu, usai memberi materi literasi kepada siswa di sekolahnya. "Aku mau menulis tentang 'pesek'?" kataku. Temanku itu tertawa. "Kasus Rina yang lepas jilbab, ya?" Lanjutnya, "Begitu menarikkah hingga harus diangkat?". Iya, ini semata bukan soal "pesek"nya, tetapi kebiasaan kurang elok kita soal mengolok orang lain.

"Pesek" adalah soal kekurangan fisik. Jika mengatakan orang lain "pesek" untuk maksud mengolok atau merendahkan, jelas termasuk perbuatan yang tidak menyenangkan. Akan beda kalau yang punya diri sengaja menyebut dirinya "pesek", baik tersebab menyadari karena hidungnya memang kurang panjang, maupun ingin memuaskan orang yang sebelumnya menyebutnya pesek.

Situasi ini sangat berbeda jika dalam dunia lawak. Jenis lawakan slapstik yang menjadikan kekurangan fisik sebagai objek lelucon sangat ditoleransi karena punya daya jual bagi penonton. Derita, celaka, aniaya, sebagai tiga hal utama lawak slapstik mengakomodir menyapaan "bolot", "tonggos", atau "pesek". Maka itu, Iskak, pelawak senior tahun 80-an, atau Sule, pelawak OVJ, fun-fun aja diolok-olok pesek. Apalagi pelawak wanita asal Jogja, Yati Pesek.

Apakah ini budaya di masyarakat kita, bisa jadi. Teringat waktu kecil dulu, setiap kawan berusaha tahu nama orang tua kawannya. Jika ada sedikit konflik, maka terlontar ucapan menyebut nama orang tua kawan tersebut. "Dasar anak Majid!", dan seterusnnya. Belum lagi kalau ada kekurangan fisiknya, maka akan jadi senjata untuk menyinggung dan melemahkan lawan bermain.

Masih ingat sambatan atau olokan dalam Bahasa Banjar, seperti "temek" alias pesek, "kutung" alias buntung, "corek" alias kotoran telinga yang keluar, "bakelere" alias tidak bisa menyebut r dengan jelas, "latat" alias berkulit hitam, "picak" alias buta, "juling cuntanan" alias juling sewaktu-waktu, "rompong" alias ompong, dan banyak lagi. Luar biasa, sejumlah sebutan merendahkan itu masih lekat di kepala kita.

Tanpa disadari, pemeliharaan kosakata semacam itu dalam benak kita, dalam keluarga kita, dalam bangsa kita, seakan-akan menyimpan investasi bibit kebencian. Jika ditemukan pada orang lain --entah kawan atau pun lawan-- kekurangan salah satu fisik tersebut, maka otomastis kamus dalam otak kita memilihkan sebutan yang pas untuk dilontarkan. Dan ada kepuasan jika terucapkan.

Di sekolah, guru-guru kita sudah ditatar untuk hanya mengucapkan kata-kata bernada amelioratif dan menghindarkan nada peyoratif kepada siswanya, apalagi kepada orang tuanya. Kata "bodoh" dibagus-baguskan menjadi "belum pintar", "tidak naik kelas" disebut "mengulang", dan "gagal" disebut "belum sukses". Bahkan, sistem rangking dihapus agar tak ada yang kecil hati karena peringkat bawah.

Pemerintah kita pun sudah lama berbagus-bagus bahasa agar nyaman didengar dan tak berkesan negatif. Istilah "WTS" atau Wanita Tuna Susila diganti menjadi "PSK" atau Pekerja Seks Komersial dan "penjara" diganti dengan "lembaga pemasyarakatan". Bahkan, istilah yang bakal menimbulkan gejolak diganti juga, seperti "kenaikan harga" menjadi "penyesuaian". Dan "penggusuran" menjadi "penataan".

Usaha pengubahan kata atau istilah agar kesannya lebih baik dan lebih nyaman itu tentu positif. Harusnya ini diikuti dalam sikap dan tutur pribadi-pribadi kita, baik sebagai guru, pejabat, ustaz, maupun profesi lainnya. Selalu berusaha hanya mengeluarkan ucapan dan sebutan yang bagus-bagus saja. Sering mendengar analogi agar hidup seperti lebah, hanya mengeluarkan yang baik-baik saja.

Kembali ke soal ucapan "pesek". Terkecuali untuk bahan lelucon para pelawak, sebaiknya memang takusah keluar dari mulut orang-orang mengaku berbudi luhur, beradab, dan berpancasila. Apalagi istilah "pesek" ini sangat berbeda dibanding sebutan kekurangan fisik lainnya. Kalau "buntung" jelas kriterianya, maka "pesek" sangat relatif. Tak ada ukuran standar berapa senti seseorang disebut pesek atau mancung.

Ilustrasi: bintang.com
Ilustrasi: bintang.com
Saya pikir, agama apa pun pasti tak membolehkan manusia yang satu mengolok-olok kekurangan fisik manusia lainnya dengan tujuan apa pun. Kalau kita sibuk mencari-cari dan bangga menemukan kekurangan orang lain untuk menjadi modal kelak mengolok-olok, lantas kapan kita sibuk menemukan kekurangan diri sendiri? "Kok, abang jadi serius begini?" sela temanku. "Tenang aja, Bang. Bukankah pesek itu pangkal hemat!" L.O.L!  ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun