Mohon tunggu...
Zuhda Mila Fitriana
Zuhda Mila Fitriana Mohon Tunggu... Dosen - Education enthusiast

Nothing much, a citizen who loves to live her life

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Miskonsepsi: Fasilitator Pendidikan vs Orang Tua Peserta Didik

29 November 2014   21:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:30 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pagi ini saya menghadiri sebuah pertemuan Wali Murid di sebuah sekolah di wilayah Pare. Acara dibuka dengan pemaparan kurikulum terbaru 2013, dimana penilaian yang dilakukan oleh tenaga pendidik sangat jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Dalam kurikulum baru ini, siswa dapat memilih pendalaman minat. Hal tersebut tentu saja berbeda dengan masa saya di SMA beberapa tahun yang lalu, ketika saya memilih minat IPS, maka hanya pelajaran IPS yang menjadi menu saya setiap hari. Dalam kurikulum yang baru ini, siswa atau peserta didik dapat memilih beberapa pilihan minat dari jurusan lain. Sebagai contohnya, siswa IPA memiliki kesempatan untuk mempelajari subjek IPS seperti, Ekonomi dan Geografi. Hal ini didasarkan atas kenyataan yang seringkali terjadi di lapangan, adanya perbedaan ambisi antara anak dan orang tua. Kenyataan ini merupakan hal klise yang sering terjadi, ketika orang tua memaksa anak masuk ke jurusan IPA, sementara anaknya menikmati subjek IPS. Ini merupakan sebuah jalan keluar yang sangat proporsional bagi saya, setidaknya anak memiliki kesempatan untuk berpikir dan memutuskan minat apa yang sangat berpengaruh pada pola pikir.
Kriteria penilaian pun telah mengalami perkembangan yang menurut saya sangat signifikan. Sebelumnya kita hanya mengenal sistem nilai angka dari hasil akhir, kemudian berkembang dengan adanya penilaian secara afektif, kognitif dan psikomotorik. Saat ini, penilaian pada jenjang Sekolah Menengah Atas memiliki kesamaan dengan penilaian di bangku perkuliahan, sistem kredit semester dan penggunaan Indeks Prestasi Kumulatif. Perkembangan ini selain menjadi sebuah angin segar dalam perkembangan pendidikan nasional, juga dapat sebagai pelecut jiwa kompetitif peserta didik. Singkat kata, keadaan ini adalah penggambaran kebebasan yang bertanggung jawab. Kurikulum baru yang disebut K13 ini merupakan pengembangan dari KBK, dimana peserta didiklah yang dibebani tanggung jawab untuk membuka jendela dunia. Peserta didik dituntut mandiri, dan pengajar hanya sebagai fasilitator pendidikan, bukan lagi penyuplai kebutuhan didik secara keseluruhan.

Dari semua kemajuan yang saya banggakan sebagai adanya peningkatan kesadaran atas pentingnya perubahan sistem pendidikan Indonesia, ada beberapa hal yang membuat saya masih sedikit kecewa. Pertama, kurangnya kerjasama antara orang tua dan fasilitator pendidik, terutama terkait dengan tujuan adanya perubahan sistem pendidikan ini. Hal tersebut tampak, dari bagaimana beberapa orang tua memprotes tentang beban belajar yang harus ditanggung oleh peserta didik dengan menunjuk fasilitator pendidikan kurang bertanggung jawab atas beban, serta kurang proporsionalnya komposisi beban belajar yang diberikan terhadap siswa. Jika saja kemudian, penjelasan lengkap tentang K13 dan kemauan orang tua siswa untuk membuka jendela pemikirannya, saya yakin bahwa kurikulum ini akan melahirkan pemimpin-pemimpin serta sosok berprestasi tingkat dunia dari Indonesia. Kedua, kurangnya kesadaran fasilitator pendidikan atas tanggung jawabnya sebagai pelaksana K13. Kenyataan ini dapat dibuktikan dengan beberapa oknum pengajar yang masih bersikap seenak sendiri dalam memberikan pola didik dan asuh terhadap siswa. Dalihnya, semua itu untuk pembentukan karakter peserta didik. Kenyataan di lapangan, masih banyak tenaga pengajar yang memberikan nilai seragam tanpa mempertimbangkan kemampuan masing-masing siswa didik, tentunya hal tersebut melukai keadilan terkait porsi nilai.

Kedua kenyataan tersebut, hanya dapat diatasi dengan komunikasi yang baik yang melibatkan orang tua, peserta didik, dan tenaga fasilitator pendidikan. Tenaga fasilitator pendidikan dalam bukan hanya guru dan pengajar, namun mereka yang terlibat dalam seluruh proses pembelajaran yang terjadi di sekolah, staf administrasi salah satunya. Menyadari fakta bahwa sebagai manusia, hal terpenting adalah bagaimana kesemua bagian itu dapat membuka pemikiran dan melapangkan hati untuk saling menyupport satu dengan yang lainnya.
Kemajuan sebuah bangsa merupakan hasil akhir dari keberhasilan pendidikannya, untuk itu demi kebaikan bersama alangkah indahnya jika perwujudan harapan staf pendidik dengan lahirnya dinamisasi sistem pendidikan, pengembangan Sumber Daya Manusia juga dibarengi dengan support orang tua. Bagaimanapun, peran orang tua sebagai seorang pendidik utama tidak akan pernah bisa tergantikan oleh fasilitator pendidikan.

Pare, 29 November 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun