Mohon tunggu...
Ziwenk Iskra
Ziwenk Iskra Mohon Tunggu... -

Aku penulis amatir yang tak terlatih menulis seperti para Akademisi di dalam ruang kelas, dari kecil sampai besar sekolah bukan tempatku. Yang aku punya dalam menulis hanya la kejujuran dan keberpihakan ku kepada rakyat yang tertindas. Menulis tanggung jawabku pada kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Ujung Desa

25 Februari 2014   00:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:30 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Nur…”. Suara seorang ibu, memanggil anak perempuannya, kembang desa di tempat ia dilahirkan. Di kaki gunung tak berapi. “Nur…”. Sekali lagi ibu itu memanggil anaknya yang sedang asyik ngobrol dengan tetangga, sampai ia tak mendengar ibunya di dapur meraungi namanya.

Suara jeritnya tak di dengar. Dengan tergesah-gesah seorang ibu itu menghampiri anaknya di halaman rumah. Terhentak Nur bingung, kenapa ibunya sudah ada di belakangnya. “Bukannya tadi ibu di dapur?”. Tanya Nur pada ibunya, yang masih ngos-ngosan sehabis memanggil nama Nur dengan berteriak dan jalan tergesah-gesah.

“Kamu kemana aja Nur ?. Sampai gak dengar suara ibu memanggilmu?”. kata ibu Nur yang bertanya dengan nada keluhan untuknya.

“Nur di sini aja bu, selesai menyapu halaman, Nur ngobrol dengan Melati’'. Jawab Nur, sambil menggenggam sapu lidi.

“Yasudah, kamu mandi sana, ini udah keburu sore, gak bagus anak perempuan di luar rumah”. Ucap ibunya dengan kalem.

“Iya bu, bentar lagi Nur mandi”. TandasNur

“Kenapa bentar lagi Nur, ayo mandi sana, ini udah sore”. Kali ini ibu Nur mulai memaksanya.

“Iya bu , Nur panggil mas Sarip dulu”.

“Lho kenapa panggil mas mu, yang ibu suruh mandi kamu”. Ibu Nur mulai bicara dengan sedikit tegang.

“Mas Sarip masih main bola bu, bukannya ini udah sore, dia juga belum mandi bu”. Sambut Nur.

Melihat Nur ngeyel, yangtak mengikuti perintahnya, Ibu Nur bicara sedikit keras kepadanya, usahanya untuk membuat Nur menuruti perintahnya. “Kamu mandi sana!, Biarkan saja Mas mu itu, dia kan laki-laki, gak papa bila sore masih di luar”. Ucap ibu Nur dengan mata yang melotot tajam.

Nur mendengar ibunya bicara dengan nada sedikit keras dan mata besar yang di miliki ibunya mulai melotot tajam memandang ke wajahnya, dengan tanggap Nur mengatakan iya dan tak membatah lagi perkataan ibunya. Sambil berbisik di jalan menuju kamar mandi, “apa bedanya mas Sarip dengan ku, wanita dan laki-laki apa bedanya?.

“Uiittss,, nduk nduk nduk, bangun ini udah pagi”. Suara ibunya yang berusaha membangunkan Nur.

“Udah pagi bu?”. Nur bertanya dengan mata yang masih sembab.

“Sudah, Nur cuci wajahmu, lalu sapu halaman rumah”. Perintah ibu Nur .

“Iya bu, mas Sarip sudah bangun bu?: Tanya Nur kembali pada ibunya.

"Belum, dia masih tidur”. Tangkas ibu Nur, sambil berjalan meninggalkan kamar Nur.

Rasa ngatuk yang masih menggandrunginya, ia lenyapkan, dan bergegas menuju halaman depan, untuk memenuhi kewajiban rumah yang harus dia kerjakan. Saban hari memang Nur menyapu halaman rumahnyapagi dan sore, terkadang dia pernah berpikir hal yang selama ini dia pertanyakan, setiap aku menyapu halaman di sore hari, Mas Sarip masih bermain bola, tanpa ada beban kerjaan rumah yang diberikan untuknya, pagi hari, saat aku menyapu halaman, Mas Sarip masih tertidur pulas bersama air liur, yang melalang buana di bantalnya. Pria berbadan bonsor bernama Sarip, memang sangat jarang mendapatkan kerjaan rumah, semua kerjaan rumah yang tak di kerjakan ibu, pasti aku yang mengejarkan, tanpa di kasih kesempatan untuk bertanya, kenapa harus aku?. Bukannya Sarip juga bagian dari rumah ini, yang setiap harinya ikut terlibat mengotori halaman rumah, kenapa hanya aku?. Tanpa mehiraukan pertanyaan yang sejak lama menghantui pikiranya, ia tetap melanjutkan gerak tangan dan kaki yang saling beirama, berpegangkan Sapu lidi, dengan telaten ia membersihkan halaman rumahnya dari dedaunan dan ranting pohon yang berserakan.

“Pagi Nur”. Teguran dari tetangganya yang biasa dipanggil Nur Budhe.

“Iya Budhe”. Jawab Nur dengan senyum simpulnya.

“Ini baru wanita”. Puji budhenya yang di anggap Nur sebagai hinaan.Sungguh gampang menjadi wanita, cukup menyapu halaman, aku sudah dikatakan wanita. Bersit Nur di dalam hati.

“Jadi wanita memang harus rajin Nur, kamu harus bisa masak, dan terbiasa membersihkan rumah, sekaligus rajin menyuci pakaian”. Lanjut budhe Nur yang kali ini belagak seperti guru.

“Untuk apa itu semua budhe?. Pertanyaan Nur yang membuat budhenya bingung.

“Maksudnya Nur?.Ucapbudhenya dengan alis mata yang menjengat ke atas dengan wajah yang bingung.

“Itu budhe, yang budhe katakan, Nur mau tanya, untuk apa perempuan bisa masak dan segala macem kerjaan yang harus ia kerjakan?”.Nur mulai membingungkan budhenya kembali, dengan bertanya yang jarang di pertanyakan orang-orang.

“Ohh itu, kok kamu masih tanya Nur, tentu itu semua biar kamu di sayang suami Nur, kan sebentar lagi kamu lulus dari sekolah, lalu nikah, jadi dari sekarang kamu sudah harus persiapkan itu”. Jawab budhenya, yang masih merasa seperti seorang guru.

“Ahbudhe, Nur belum mau nikah, masih mau lanjut sekolah budhe, ke kota”. Tangkas Nur.

“Kamu sekolah lagi Nur?, bukanya kamu cukup ayu (cantik), laki-laki mana yang tidak mau sama kamu, anak Kepala Desa, dan anak Pak Camat, pasti berebut ingin melamar kamu, bila nanti kamu sudah lulus sekolah”. Lanjut budheyang meyakinkan Nur, dengan wajah cantik dan bisa memasak serta menurut pada suami, Nur akan hidup bahagia bersama harta warisan dari orang tua calon suaminya kelak.

“Pokoknya Nur belum mau nikah secepat itu”. TegasNur dengan wajah murung, akibat mendengar nasehat budhenya.

“Nur, Nur, Nur, kamu harus sadar nduk!, wanita itu ujung-ujungnya di dapur, setinggi apapun kamu sekolah, tetap kamu harus bekerja di dapur, itu udah kodrat kamu sebagai wanita”. Desakan budhenya kepada Nur.

“Yasudah, lanjuti nyapu kamu, budhe mau ke pasar dulu, ini lah kerjaan budhe”. Lanjut budhenya.

“Budhe senang dengan kerjaan ini?”. Nur bertanya sambil melampirkan wajah yang kalut, kelopak mata yang longgar, dengan ratapan sedih.

“Senang dong Nur, kerjaan kita sebagai wanita, hanya memasak, kita tak perlu sekolah tinggi-tinggi, dan kerja. Tugas kita hanya melakukan kerjaan rumah agar suami senang, budhe sangat menikmatinya Nur, ini Sudah kodrat kita sebagai wanita”.

Mendengar jawaban dari budhenya, Nur menundukan kepalanya, sambil mengeluh di hati. Begitu rendah hidup sebagai wanita, lahir hanya untuk tunduk pada seorang laki-laki yang belum tentu menghargainya.

“Budhe ke pasar dulu ya Nur”. Pamit budhe Nur.

“Iya budhe”. Jawab nur yang masih menundukan kepalanya.

Halaman rumah sudah bersih dari dedaunan yang jatuh dari pohon mangga di depan rumahnya. Keringat mengalir di badan Nur, rasa lelah yang teramat berat dia rasakan setiap harinya.

“Nur... Nur… udah selesai nyapunya”. Teriak ibu Nur dari dalam rumah.

Ia hampiri ibunya yang sedang asyik menata meja makan, untuk menyediakan sarapan keluarganya, “Sudah bu,”. Jawab Nur, sambil memperhatikan ibunya.

“Kalau sudah selasai nyapunya, kamu mandi sana, ntar kita sarapan bareng dengan bapak”.

“Iya bu”. Jawab Nur dengan datar.

Badan yang masih terasa lelah, tak dia pedulikan, demi mengikuti perintah ibunya, ia pun langsung menuju kamar mandi, untuk menunaikan ritual yang setiap harinya di ingatkan oleh ibunya.

“Nur cepat mandinya, sudah di tunggu bapak di meja makan”.

“Iya bu”. Jawab Nur di dalam kamar mandi.

“Wah Nur sudah mandi?, Ayu tenan kamu nduk”. Pujian dari bapak Nur.

“Sudah pak, bapak mau berangkat ke kota?”. Tanya Nur pada bapaknya yang sudah rapi mengenakan kemeja berwana coklat dengan peci hitam melengkapi gayanya, untuk berangkat ke kota.

“Iya nduk, bapak mau ke kota, jual hasil panen padi kita, besok bapak gak bisa mengikuti acara lulusan di sekolahmu. Ayo makan nduk, bentar lagi bapak berangkat”. Jawab bapak Nur

Bapak Nur seorang juragan beras, yang setiap minggunya pasti menginjakan kakinyadi kota, untuk menjual beras yang habis di panen oleh buruh tani di desa.

“Perut yang selama berjam-jam kosong, setelah mandi kemaren sore, ia langsung tidur tanpa makan malam, membuat Nur seperti orang yang habis dari padang pasir, kelaparan, dan beringas menyantap makanan.

“Pelan-pelan nduk, kamu iki wedok (kamu ini wanita)”. Tegur bapaknya melihat Nur makan dengan beringas.

Mendengar teguran dari bapaknya, Nur perlahan-lahan memperlambat makannya.

“Nah gitu kan baik, jadi perempuan itu nduk, harus terlihat ayu di manapun”. Lanjut bapaknya.

“Mas Sarip di mana bu?”. Nur coba menanyakan pria berbadan bonsor yang sedang asyik tidur.

“Masih tidur nduk”. Jawab ibunya.

“Oo masih tidur!, pasti dengan air liur yang melalang buana di bantalnya”.

“Bapak,apakah tidak ada aturan yang mengatur laki-laki untuk tampil tampan di mana pun”?. Tanya nur pada bapaknya, bernada meraung.

Mendengar pertanyaan Nur, wajah Juragan beras itu mengetat, matanya menatap tajam Nur dan Ibunya. Lalu bicara dengan keras “Dari mana kamu dapat pertanyaan seperti itu?”.

“Nur tidak mendapatkannya dari siapa pun pak, itu lah yang Nur lihat, kenapa hanya Nur yang di rawat seperti boneka?!”. Tangkasnya yang kali ini membuat bapaknya geram.

“Istighfar nduk”.Ucap ibu Nur yang ingin menengahi pergelutan bapak dan anak itu.

“kenapa istighfar bu, apakah Tuhan melarang kita untuk bertanya?”. Nur terus merontah, menanyakan ketimpangan yang ia rasakan.

Melihat anaknya yang terus merontah, juragan itu panik dan kebingungan, mengetahui sikap anaknya yang beransur-ansur, menyadari ketimpangan yang di rasakannya, pertanyaan Nur tadi, seperti duri yang menyayat tajam tenggorokannya saat menelan empuknya ikan panggang.

Dengan geram, lalu berucap seenak udelnya, “Sudah, lanjutin makan kamu!, lalu masuk kamar, tidak usah keluar!”. Bentak bapak Nur sambil melampirkan amarah di wajahnya.

Suara bentakan dari seorang laki-laki yang ia kagumi, mampu membuat Nurmenundukan matanya ke arah makanan, sambil menyatap pelan-pelan makanannya. Untuk menghilangkan rasa takut, sehabis mendengar bentakan bapaknya, yang selama ini tak pernah ia dengar. Begitu juga wajah juragan beras itu. Baru ini wajahnya mengetat ketika bicara dengan anak bontotnya.

“Bapak berangkat dulu Bu, Nur”.

“Iya pak”. Jawab Nur sambil mencium tangan bapaknya sebelum berangkat meninggalkan meja makan.

“Ayo nduk bantuin ibu bersihin meja makan”. Ucap ibu nur.

“Iya bu, memang Nur seharusnya yang bersihin ini”. Jawab Nur dengan wajah yang kalah.

Nur dari dahulu hingga sekarang menurut dengan perintah ibu dan bapaknya, namun bukan pecundang. Yang dapat disuruh apa saja, walau itu menyesatkan. Nur banyak belajar dari apa yang ia lihat, ketimpangan yang ia rasakan. Memberanikan Nur untuk merontah pada siapapun yang di anggapnya melestarikan ketimpangan itu. Kasian dia! merontah namun kalah oleh penguasa!.

Tak betah di dalam kamar, terperangkap rasa gundah akibat bentakan bapaknya, membuat ia, keluar diam-diam dari rumah yang mengekangnya. Ibunya sedang asyik di belakang rumah, menyuci pakaian, Nur dengan tertatih-tatih berjalan keluar rumah, ingin ketempat dimana ia diperlakukan layaknya manusia.

Di jalan menuju tempat tujuannya, Nur merasakan kebebasan sesungguhnya, dimana alam begitu lembut menyapanya, dengan menghisap angin di dedaunan, lalu menghempasnya saat Nur berlari menuju ujung desa.

Yaa, di ujung desa ini lah, tempat Nur meluluh lantakan emosi yang menggumpal di kepalanya, ia belajar kebebasan dari burung yang berkicau keras, di atas perpohonan yang rimbun berjajar rapi di pinggiran sawah, hamparan sawah hijau yang tergambar jelas di bola matanya memberi arti penting tentang keberanian hidup, di tengah tanah yang kotor!.

Perempuan ini masih duduk, di bawah pohon yang menjadi tempat andalannya untuk mencoret segala keluh kesah yang ia rasakan, pohon Yang rimbun dan berbatang besar, dengan kulit yang mulai mengupas, disorot sinar matahari langsung, membuat siapa saja yang ada di bawahnya merasakan dua rasa yang berbeda, di tengah kesejukan, dan hangatnya matahari, yang membalut tubuh Nur saat sedang asyik menikmati Puncak gunung yang terlukis di depan matanya, dengan bingkai awan putih mengelilingin gunung itu. “Sunguh ketakjuban yang begitu indah, tapi kenapa penghuninya merusak dengan aturan yang di buat-buat”. Bersit Nur yang masih menatapkan matanya di puncak gunung itu.

“Teman ku pagi-pagi udah ngapelin pohon hehhe”. Suara laki-laki yang selama ini menjadi temannya di ujung desa.

“Kamu gus, sapi-sapi kamu dimana?”. Jawab Nur, masih melampirkan kesedihan di wajahnya.

“Sudah di jual ke kota semua Nur”.

“Terus bagaimana dengan pekerjaan mu”.

“Dalam beberapa minggu ini aku bantuin Pak RT Nur menjaga sawahnya”.

“Sudah lama kamu di sini Nur”?. Lanjut anak muda itu.

“Belum terlalu lama Gus”.

“Kenapa dengan wajah kamu Nur?. pasti kamu baru melihat lagi kenyataan di desa ini“

“kamu kok tau Gus”

“Kita setiap harinya berjumpa di sini, dan setiap harinya juga aku mendengar keluhan mu terhadap desa kita”

“Apakah kota sama seperti desa kita gus?”. Tanya Nur kepada anak muda yang dari kecil menjadi temannya berbagi kisah.

“Baru seminggu lalu aku pulang dari kota Nur, sungguh lebih tragis dari desa kita”

“Bila di desa kita lapar Nur, masih ada pepaya yang bisa di ambil. Dan ikan masih banyak berenang di sungai belakang desa kita. Di kota sana Nur, bila mereka lapar, dan tak mengantongi sedikitpun uang, tak jarang orang kota, mengemis, dan mengais nasi bekas di tong sampah gedung-gedung mewah”. Katanya sambil menggenggam arit, dengan mata yang begitu berani, mengingatkan ku pada ribuan petani, yang datang berkerumun menuntut pembagian tanah. Cita-cita belum sampai, mereka sudah dibantai, tanpa di beri kesempatan menjawab, segala dalil yang di rekayasa.

“Terus gus bagaimana dengan wanita-wanita di kota?”. Tanya Nur yang penasaran mendengar cerita dari anak muda itu, yang rutin kekota, menjual ternak titipan juragannya.

“Lagi-lagi lebih tragis Nur, di kota marak pemerkosaan, lalu perempuan disalahkan hanya karena pakaian yang ia pakai”.

“Memang kenapa pakaiannya gus?”. Dengan tanggap Nur bertanya.

“Kata orang-orang kota senono”. Gus menjawab dengan kecewa.

“Bukannya setiap orang berhak menentukan baju yang ia pakai, bukannya kota menjaga kebebasan itu Gus.

“Tidak Nur, desa dan kota tak jauh berbeda, hanya wajah-wajah penghuninya yang tak sama, otak dan hatinya tak jauh beda.” . Tandas anak muda itu

Sungguh tragis nasib kaum ku. Keluh Nur di dalam hati.

Matahari mulai terik, pas berada di atas kepala dua anak muda ini, namun mereka masih saling berbagi cerita, dari apa yang mereka lihat. Memang dari kecil mereka sudah terbiasa bertemu di tempat ini, di tempat ini lah mereka menemukan dunianya, anak muda yang merontah menitih hidup, dan perempuan yang memberontak lingkungan sosialnya. Semua mereka lontarkan kegelisahan itu bila berada di tempat ini, tempat yang memberi mereka kebebasan melakukan apa yangmereka inginkan.

“Gus aku boleh tanya ke kamu”.

“Silakan Nur”.

“Menurut kamu siapa itu perempuan?”. Nur bertanya dengan menatap wajah anak muda itu.

“Dia yang melahirkanku Nur, layaknya pemberi kehidupan, aku harus memperlakukannya seperti perlakuanku pada diriku”. Tandas anak muda itu.

“Jika kamu memiliki istri gus akan bertindak seperti itu?

“Tentu Nur. Jika ada perempuan yang ingin bergandengan denganku untuk berjalan menuju masa depan. Tak ingin ku perlakukan iaseperti Ratu di dalam istana, yang selalu tunduk pada Raja. Walau Lehernya dipenuhi perhiasan terindah seantero bumi, kulit halusnya bermandikan susu, dengan makanan lezat tersedia di atas meja singgasana. Namun ia bersedih dan terjerat rasa serba salah, yang tak mampu ia lawan, saat melihat suaminya, seorang Raja asyik menari, dan merayu para wanita di hadapannya. Aku tak mau membuat perempuan teman hidupku seperti itu, serba salah dalam kegelimpangan kuasa.Tak juga aku perlakukan perempuan teman hidupku, seperti istri Kyiayi di dalam pesatren, sungguh aku tak sanggup melihat perempuan teman hidupku, berjalan menundukan setengah badannya, bahkan sampai sembah jongkok dihapanku, tak ingin aku melihat itu, jauh lebih indah dan bersahaja, bila perempuan teman hidupku berani lantang mengangkat wajahnya dan menegakkan tubuhnya, aku akan jauh merasa terhormat bila itu ia lakukan. Jawab anak muda itu yang membuat Nur tersenyum riang medengar perkataannya.

“Kenapa kamu tersenyum Nur?”. Tanya anak muda itu.

“Tak papa gus”. Jawab Nur sambil memperhatikan pasangan burung yang sedang bercumbu di atas pohon.

"Kita belum selesai Nur, kita baru memulainya, Kisah selanjutnya akan menyusul menemukan muaranya, para pembaca semoga menantikannya, kisah kita selanjutnya di Ujung Desa”. Tandas anak muda itu, dengan sekar hijau yang terus dia sulut di pinggir sawah.

Pena: Ziwenk

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun