Mohon tunggu...
Zidni Innayatur R
Zidni Innayatur R Mohon Tunggu... -

Sesuatu yang tidak berubah adalah Perubahan,... ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kakek

25 Januari 2012   16:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:27 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aku kasihan kepadamu, nak," ujar seorang tua yang ternyata dari tadi memperhatikanku. Dengan penuh rasa kesangsian aku pun bertanya, "Saya,...?" dan kakek itupun mengangguk, karena penasaran, ku teruskan pertanyaanku, "Kenapa kakek bilang seperti itu,... ?".

Dengan berjarakkan meja panjang tempat makanan berjejer, beliaupun mulai meramalku. Setelah meneguk teh hangat pesanannya, mulailah beliau dengan prediksi- prediksainya. "Kamu, seorang yang suka memasukkan sesuatu langsung ke dalam hati, apapun itu, baik masalah besar, masalah kecil, tetap kamu masukkan ke dalam hati, penyaringmu kurang peka, yang kau mainkan hanya hatimu, maka dari itu kamu gampang sekali terbawa suasana, gampang sekali menangis menghadapi sesuatu," kata kakek tua tadi. Sebelum beliau melanjutkan ramalannya, aku berpikir, kenapa orang ini tiba-tiba menguak sisi dalamku, dan yang beliau katakan benar, aku adalah tipe seperti yang dikatakannya tadi, tapi, tunggu dulu, mungkin hanya tebakkan semata, beliau hanya menebak-nebak buah manggis, karena mungkin beliau melihatku dengan keadaan mataku yang sembab karena semalam aku tak bisa tidur lantaran flu yang menyerang membuat hidung tak bisa bernafas dengan normal,  dan tidak dipungkiri pula, aku sedang memikirkan sesuatu yang memang membuatku meneteskan airmata. (tapi tangisku tak sebanding dengan rasa mampet hidung yang menyerang semalam, jadi, aku rasa prediksi kakek itu ada benarnya dan ada salahnya).

Beliaupun melanjutkan prediksinya setelah mengambil tempe goreng yang ada di depannya. Sambil membersihkan sisa- sisa piring kotor milik pelanggan, akupun sebenarnya tak mau terlalu mendengarkan orang ini, tapi aku tetap penasaran, apa yang akan dikatakannya lagi tentangku. Seteguk teh hangatpun membasahi tenggorokannya lagi. "Kamu sedang bermasalah dengan laki-laki ya?". Jedeeerrr,... bagai petir di siang bolong, "waduh, kenapa kakek ini bicara seperti itu, di depan ibu pula" pikirku. "Iya kan? tak usah mengelak, benar begitu kan, bu?". Sang kakek pun mengalihkan pertanyaannya kepada ibuku yang dari tadi mendengarkan celoteh kakek tadi. Dan tanggapan ibu hanya "hehe, mungkin". Untuk masalah apapun, aku selalu terbuka dengan ibu, tapi, untuk masalah cowok, memang aku tak terlalu terbuka dengan ibu, tapi kurasa ibuku juga tau tanpa aku banyak bercerita jadi beliau hanya menanggapinya dengan nada dingin pertanyaan kakek tadi.

Kalau sudah menyangkut masalah ini, aku hanya ingin menutup telinga, karena aku memang tak mau terlalu membahasnya apalagi dengan orang yang memang belum aku kenal sama sekali. Ingin sekali rasanya melihat kakek itu segera membayar nasi sayur dan teh hangat yang telah dihabiskannya tadi dan keluar dari warung nasi ibuku, supaya beliau tak lagi berbicara lebih tentangku. Memang siapa beliau, berani- beraninya membuka kartu yang selama ini aku tutupi dari ibu.

Karena mungkin merasa tak terlalu ku perhatikan, sang kakek pun beralih kepada ibuku. "Hati- hati bu, anaknya dijaga dengan baik, dia gampang terpengaruh dan tergoda, kalau tak ada yang mendampingi, mungkin dia akan kebablasan dalam pergaulannya", lanjut sang kakek, dan ibuku pun hanya menimpali dengan tanpa ekspresi (mungkin karena sudah bosan mendengar sang kakek melucuti anaknya) "iya kek, semua itu memang perlu dijaga". Huh, apa sih maunya kakek ini, aku ingin mulai menangis (tebakan beliau pertama tadi benar). Karena tak tahan, aku pun berpamitan "Ibu, aku mau ambil sambel di rumah dulu ya", "iya, sekalian bawa termos air panas ya" suruh ibu. Mengambil sambal dan termos air panas, sebenarnya hanya alasanku untuk tidak mendengarkan sang kakek lagi. "Kenapa pulang? benarkan yang tadi? sampai rumah jangan nangis lho ya!" ujar sang kakek yang sepertinya tau alasan aku pulang. "Hehe, mau ambil sambal, kek" jawabku. Dengan sepeda merahku, aku pulang dengan harapan kalau aku balik lagi ke warung, sang kakek sudah pergi. Jarak warung ke rumah tak terlalu jauh, tapi aku sengaja memperlambat kayuhan sepedaku, 15 menit aku sudah balik ke warung dengan membawa persedian sambal dan termos air panas. Yang kupikir bahwa 15menit aku tak di warung adalah sang kakek pergi, ternyata salah, ternyata dia malah tambah porsi makan lagi, haduh, lengkap sudah penderitaanku (lebay).

Dengan nasi yang tinggal beberapa suap lagi, sang kakek lagi- lagi menyapaku. "Loh, kok balik lagi? takut di rumah nangis ya?" tanya sang kakek dengan nada menyindir (sepertinya). Aku pun dengan enteng menjawab "iya kek, kan cuma ambil ini kek" sambil menunjuk bawaanku tadi.

Akhirnya, selesai juga beliau menghabiskan makan dan minumnya. Tapi, dengan itu, bukannya langsung pulang, beliaupun memulai melucutiku lagi. "Nak, kamu pilih mundur atau maju?" tanyanya lagi, dengan nada sumbang, akupun pura-pura tak tau maksud beliau, dan bertanya apa maksud beliau, padahal sebenarnya tau arah pembicaraan kemana. Tawa kecil menghiasi raut tua beliau, "Kalau mau maju, saingannya banyak, cantik- cantik dan pinter- pinter, maklumlah, dia kan cowok idaman setiap wanita, baik, tampang wah, harta juga wah, tapi kalau kamu mundur, kamu kalah, dan kamu akan menyesal, kenapa kamu tak bisa bersama dia, yang lebih penting, kamu akan meratapinya.".

Yah, saat ini, aku memang sedang ada rasa dengan seorang cowok, lulusan universitas terkemuka, anak dari jurangan meubel, dan tampang yang lumayanlah menurutku. Tapi semua itu tak ada pengaruhnya, yang ku suka dari dia adalah sifat kearifannya, sifat lembutnya, dan sifat kedewasaanya, itulah yang membuatku jatuh hati padanya. Tapi yang terpenting adalah imannya yang ku acungi jempol sejak pertama kali bertemu.  Tampang, pendidikan dan harta adalah nomor sekian yang menjadi pelengkap, bagiku. Namun, setelah beberapa lama mengenalnya, akupun sadar, tak sedikit wanita yang mau menjadi pendampingnya kelak. Dengan berat, aku pun memilih untuk tak berharap lebih darinya. Dan saat ini, perjuanganku melupakannyalah yang membuatku sering menumpahkan airmata di sela terjaga malamku. Tapi, tekadku sudah bulat untuk melupakannya.

"Aku ingin mundur dan melupakannya" kataku dalam hati. Dan aku berharap kata- kata hatiku yang dari tadi tak terucap, terdengar oleh sang kakek yang kurasa juga bisa membaca pikiran orang lain. Sang kakek yang dari tadi menunggu jawabanku pun akhirnya menyerah untuk tidak menuntut jawaban berlebih dariku. Dan, kata terakhir setelah beliau membayar semua makanan yang dimakannya adalah "Tenanglah nak, akan ada seseorang yang jauh lebih baik daripada yang sekarang kamu puja itu. Tapi aku tetap kasihan padamu, karena kalau kau bersuamikan dia, kau akan sering menangis, karena gertakannya". "Nanti malam pasti kamu tak bisa tidur memikirkan ini, dan ingat, jangan menangis" lanjutnya. Dan sang kakekpun pergi.

Huh, akhirnya, pergi juga itu kakek. Tapi aku tetap penasaran dengan mencerna kata-kata terakhir kakek. Apakah kelak aku memang akan seperti itu?. Yang dengan hati kecil selalu memasukkan masalah langsung ke dalam pikiran?. Selama ini, memang ku akui, aku sering seperti itu, tapi apakah akan terbawa sampai nanti- nanti?.

Ah, sudahlah, aku tak akan memikirkannya. Yang akan kulakukan adalah melupakan si dia dan melupakan kata- kata sang kakek. Dan yang terpenting adalah, malam ini aku tak akan menangis, seperti yang diprediksikan sang kakek. (Karena malam ini aku tidak tidur di kamarku sendiri, aku menginap di rumah teman, tak mungkin kan kalo aku menangis di sana).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun