Mohon tunggu...
Zia Mukhlis
Zia Mukhlis Mohon Tunggu... Jurnalis - Pemerhati Pendidikan dan Sosial Budaya

Jurnalis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bocah Rantau

6 Juli 2018   20:36 Diperbarui: 6 Juli 2018   20:39 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari balik jendela kayu seorang bocah memandang ke luar jendela, menyaksikan pemandangan yang sangat mengibakan hatinya. Hari ini adalah hari perpulangan, semua murid pulang ke kampung halamannya masing-masing untuk menikmati liburan panjang. Namun bocah ini hanya bisa menahan rindu akan kampung halamannya. Jarak nan jauh antara kampung halaman dan sekolah membuatnya memilih untuk menelan rindu. Bayang-bayang wajah ibunya mengitari langit pikirannya.

3 jam jalan kaki menuju terminal bus, sesampai di terminal bus harus menunggu penumpang hingga 2 jam lamanya, lalu perjalanan dengan menggunakan bus memakan waktu hampir 12 jam, dan dari terminal menuju sekolahnya ini 1 jam perjalanan menggunakan bendi, begitu juga perjalanan pulang harus mengikuti rute yang sama, membayangkan itu saja hilang sudah pupus niatnya untuk pulang. Itu bayangan setahun yang lalu saat ia berangkat dengan ibunya untuk bersekolah disini.

"pulang... kata apa itu?! Tak ada dalam kepalaku kata pulang!", marahnya untuk menenangkan hati yang galau. Seketika iapun berlari keluar kamar untuk menghilangkan gundah di hati, akan tetapi gundah tersebut makin menyayat, melihat teman-temannya bermesraan dengan orangtua mereka semakin membuat rindu akan ibunya bertambah.

Bayangan wajah ibunya kembali mengisi pikirannya, ibunya hanya tinggal sendiri di rumah dan sibuk mengurus sawah-sawah. Ayahnya beristri dua dan tinggal dirumah istri yang satu lagi, itu karena ibunya susah dapat anak. Dari cerita ibunya bahwa alasan ia adalah anak tunggal karena ibunya baru bisa mengandungnya pada usia 40 tahun, itupun sudah kepayahan apalagi jika tambah anak lagi. Uang jajan sekali sebulan dikirimkan oleh ibunya untuk biaya hidupnya selama sekolah. Ingin sekali ia pulang, tapi mengingat uang yang ia miliki hanya pas-pasan niat itu kandas lagi dan ia lari sekencang-kencang entah kemana.

Nafasnya sesak dan peluhnya bercucuran, tampak olehnya masjid iapun langsung berebah. Angin sepoi membuat kantuknya menyerang. Saat ia bangun ternyata matahari sudah tergelincir sekali, ia ambil wudu' dan langsung azan ashar. Suaranya begitu lirih memanggil masyarakat untuk segera menyeru panggilan Allah.

Usai ia azan, segera seorang ibu-ibu berlari mengambil wudu' dan langsung masuk ke masjid, "siapa yang azan tadi nak?" tanya ibu ini kepada si bocah. "saya, bu...", "kamu sekolah disini ya? kenapa tidak pulang? Sekarangkan lagi liburan?", "kampung saya jauh, bu...".

Selesai menunaikan shalat ashar ia dipanggil oleh ibu yang tadi, "ibu kagum dengan suaramu, kamu mau jadi anak angkat ibu nak? Ibu tidak punya anak, sekarang ibu hanya tinggal berdua dengan suami ibu" kata ibu tersebut. Perkataan ibu tersebut sangat mengejutkan bocah itu, kenapa tiba-tiba ibu ini ingin menjadikannya seorang anak angkat, "apa istimewanya saya, bukannya banyak anak diluar sana yang suaranya lebih baik dari saya?" bisiknya dalam hati. Bocah kecil inipun mengangguk pelan, spontan ibu tersebut langsung memeluk tubuhnya yang kurus dan mengusap kepalanya. "nanti selesai maghrib kamu kerumah ibu ya, nak?", dengan berlinang air mata dan suara tertahan haru ia menjawab "iya, bu". Sudah lama ia tak merasakan kasih ibu.

Segera bocah itu pulang ke asramanya, ia lihat sekolahnya telah sepi tak adalagi pemandangan yang memilukan, hatinya kini telah tegar dan kokoh kembali karena Tuhan telah menghiburnya, memang Tuhan tahu yang terbaik. Setiba di asrama ia langsung mengemas pakaiannya, hanya beberapa helai baju dan celana ia lipat dan ia masukkan ke dalam plastik asoi serbagunanya. Asoi yang juga berfungsi sebagai tas sekolahnya. Bocah ini bisa dikatakan sebagai murid yang paling miskin diantara teman-temannya yang lain, ketika semua murid ke sekolah menggunakan tas yang baru, ia dengan pedenya menenteng tas asoi di bahunya.

Saking miskinnya ia tidak memiliki buku pelajaran yang ia miliki hanya buku tulis. Sekolah selalu memberikan buku gratis kepada setiap murid-muridnya, bocah ini selalu meminta lebih, karena para guru telah tahu bahwa ia kurang mampu, guru dengan senang hati memberikan buku tulis lebih, khusus untuk bocah ini. Buku-buku tulis itu memang sangat bermanfaat untuknya, dari kulit depan sampai kulit belakang semuanya berisi tulisannya, ternyata ia menyalin buku pelajaran temannya disebabkan ia tak mampu untuk membeli buku pelajaran. Dan juga tidak boleh buku pelajaran itu dipinjam kecuali saat temannya itu sudah tidur, temannya itu adalah anak orang kaya dan pelit. Tiap malam ia menyalin pelajaran yang akan diterangkan guru esok harinya. Tidak hanya itu, pensilnya paling cepat habis, biasanya sekolah juga memberikan  pensil gratis sekali 2 minggu, tapi ia memintanya sekali seminggu karena cepat habis menyalin buku pelajaran. Untuk karet penghapus bisa ia akali sendiri, karena malu minta terus ke sekolah iapun mencari karet dijalan-jalan dan mengikatnya di pensilnya, jadilah itu penghapus. Dengan semangat belajar yang demikian yang tidak mengenal batasan atau halangan dalam belajar ia berhasil meraih juara 2 dari seluruh angkatannya, sedangkan yang juara satunya adalah temannya yang anak orang kaya dan pelit tadi.

Tak terasa  ternyata waktu maghrib sudah hampir masuk ia segera memasukkan barang-barangnnya kedalam asoi serbagunanya dan segera ke mesjid, sebelum itu tak lupa ia pamit dengan ustadz penjaga asrama. Usai shalat ba'diyah maghrib ia langsung keluar mencari ibu angkatnya ternyata sang ibu telah menunggunya di luar, merekapun berjalan berdua sambil berkisah satu dengan yang lain.

Enam tahun berlalu dengan cepat, sang bocah telah tumbuh menjadi pemuda dewasa, disamping ia ahli dalam silat ia juga memiliki wajah yang gagah. Akhir-akhir ini ia sangat sibuk, ia dipercaya oleh guru-gurunya dalam mengajar, jika ada guru yang berhalangan hadir iapun diminta untuk menjadi penggantinya. Diluar ia banyak berkenalan dengan para ustadz, kadang ada diantara para ustadz tersebut yang memiliki jadwal bentrok ceramah iapun diminta untuk menggantikannya. Belum lagi kini ia menjadi gharin di sebuah masjid yang cukup jauh dari sekolahnya. Kesibukan yang padat membuatnya jarang mengunjungi ibu angkatnya. Teringat olehnya saat membantu ibu angkatnya di sawah, kehidupan ibu angkat dan ibu kandungnya amatlah sama, mereka sama-sama bekerja di sawah, walau hidup serba pas-pasan tapi bocah itu selalu meluangkan waktunya untuk bercerita, bercurhat dan mengadu jika ia sedang ada masalah kepada ibu angkatnya. Kini perasaan rindu itu muncul lagi, namun aktivitas yang sangat padat membuatnya selalu batal untuk mengunjungi ibu angkatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun