Mohon tunggu...
Zia ul Haramein
Zia ul Haramein Mohon Tunggu... Guru - Jangan mati sebelum menulis

Kutulis apa yang kubaca dan pahami, tak peduli engkau setuju atau murka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tantangan Ulama Wanita Masa Kini

11 Oktober 2017   18:05 Diperbarui: 11 Oktober 2017   18:23 1701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah mencatat bahwa peran wanita dalam sebuah peradaban tidak hanya terbatas pada posisi mereka sebagai seorang anak, istri dan ibu. Ranah yang kerap diampu oleh lelaki pun seringkali dikuasai penuh oleh seorang wanita. Islam tidak membatasi ruang gerak kaum Hawa selama itu tidak keluar dari koridor syariat dan kodrat alaminya. Istri pertama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Khadijah radhiyallahu 'anha adalah seorang pebisnis ulung yang berperan penting dalam perputaran ekonomi masyarakat Mekkah saat itu. Bahwa ia 'bertemu' Rasulullah saw bukan dalam majlis ilmu ataupun tempat ibadah, adalah bukti bahwa Allah mengizinkan seorang pebisnis menjadi istri seseorang yang kelak dilantik sebagai pembawa ajaran Islam. Bahkan ribuan tahun jauh sebelum itu, Allah telah menitipkan ridhoNya pada Asiyah, seorang istri penguasa dzalim, sebagai penyelamat bayi yang kelak juga diutus sebagai pembawa risalah kenabian.

Poros peran dan kontribusi wanita pada zaman Jahiliyah adalah salah satu kondisi terburuk yang pernah terukir dalam sejarah. Kedudukan perempuan sebagai 'barang jual-beli', harta warisan, dan budak yang tiada bernilai telah membawa masyarakat Arab masa itu pada status terendahnya. Islam datang menyelamatkan martabat wanita dengan banyaknya ayat yang menyanjung posisi wanita. Bahkan harga diri wanita begitu dihormati dengan adanya salah satu nama surah dalam al-Quran yang berarti 'para wanita', yaitu surah an-Nisaa'. Nur Faizin Muhith dalam bukunya Perempuan Ditindas atau Dimuliakan? menyebutkan bahwa al-Quran membahasakan wanita dengan tiga bentuk; imra'ah, an-nisaa' dan al-untsa. Terdapat 26 kali pengulangan kata imra'ah, 56 kali untuk an-nisaa' sedangkan al-untsa disebut sebanyak 30 kali dalam al-Quran.

Begitu pun coretan riwayat hadis-hadis yang meninggikan 'tahta' seorang ibu, keutamaan para Ummahat al-Mu'minin, hingga ijtihad para cendekiawan wanita baik di zaman Nabi maupun selepas Beliau, menandakan bahwa reputasi Islam tidak hanya dipikul di pundak ulama lelaki. Seiring berjalannya waktu, tanpa meninggalkan tanggungjawab alaminya, kaum wanita ternyata masih memerankan posisi sentral dalam perkembangan Islam hingga zaman millennial serba berkemajuan ini.

Wanita Bukan Ulama

Mungkin subjudul di atas terlihat begitu kontroversi bahkan bernada provokasi, di tengah upaya kita memperbaiki sisa reruntuhan pekerti para pemuda-pemudi yang makin hari makin tergerus arus globalisasi. Namun inilah realita yang sering kita temui dalam masyarakat; anak perempuan tidak dididik untuk menjadi ilmuwan (ulama). Beban keluarga dianggap telah terbayar lunas ketika sang gadis telah dipersunting seorang lelaki. Nilai pendidikan tinggi menjadi sangat samar ketika berhadapan dengan cita-cita anak perempuan.

Premis ini dengan mudah dinafikan semata karena kita hidup di kota; kampus-kampus ternama dipenuhi mahasiswi di berbagai jurusan. Mereka mendapat pendidikan yang setimpal dengan para mahasiswa, karena memang perguruan tinggi tidak membedakan antara mereka. Namun fakta lain tersiar lantang di daerah-daerah yang kurang tersentuh pendidikan modern. Anak perempuan tidak diharapkan duduk di 'bangku tertinggi' ruang universitas, sebab titahnya kelak hanya akan berujung di dapur, sumur dan kasur. Mengubah paradigma semacam ini menjadi salah satu peran terbesar kaum terpelajar; mengedukasi para orang tua bahwa anak perempuan juga menggunakan mata uang yang sama untuk membeli mimpi-mimpi mereka, setinggi apapun itu.

Kondisi kontras mengenai posisi ke-ulama-an wanita juga terlihat saat bulan Ramadan tiba. Jadwal pengisi kajian Ramadan mayoritas hanyalah kalangan ulama pria. Ustadz-ustadz tersohor bergelimang undangan di bulan suci ini, namun apakah para ustadzah juga demikian? Hanya segelintir ustadzah yang secara terhormat dan akademis dipandang mampu untuk menduduki kursi kajian Islam di bulan Ramadan. Tidak berlebihan sekiranya kita khawatir anak-anak masa kini yang cukup kritis kelak beranggapan bahwa yang mampu menjadi ilmuwan adalah para lelaki saja, padahal guru pertama mereka saat belajar berbicara adalah seorang wanita.

Di samping itu, jika kita mengintip kondisi sosial masyarakat Barat pada umumnya, terdapat jutaan wanita berotak brilian yang tersohor sebagai ilmuwan, profesor, pebisnis, arkeolog, astronot, dan lain-lain. Sedangkan di Islam masih sangat irit memproduksi para cendekiawan wanita untuk menjamah berbagai bidang ilmu. Keterbatasan syariat dan status sebagai muslim acap kali menjadi apologi yang manis untuk menjawab tantangan zaman millenial ini. Tapi mari kita renungi sejenak, bukankah keberadaan Islam sama sekali tidak membatasi seseorang ingin menjadi apa selama itu tidak menyalahi aturanNya?

Wanita Harus Berjuang dan Berfikir

Dari kegelisahan di atas, palung pesan yang harus kita selami ialah himbauan bahwa ranah kemajuan intelektual tidak hanya berada dalam genggaman para lelaki, namun harus pula dimiliki oleh kaum Hawa. Kondisi masyarakat sebagaimana kami jabarkan sebelumnya merupakan batu loncatan bagi mereka yang senantiasa berfikir. Mari kita mengintip jejak-jejak sejarah Indonesia yang terdiri dari banyak warna. Salah satu warna yang melengkapi rentang waktu negeri ini adalah peran wanita dalam berbagai bidang. Sebutlah beberapa nama yang tidak asing seperti RA. Kartini, Cut Nyak Dien, Fatmawati, HR. Rasuna Said, dan lain sebagainya yang dinobatkan sebagai ibu pejuang bangsa dalam ranahnya masing-masing.

Selama ini kita mengenal sosok Soewardi Soerjaningrat atau yang tenar dengan nama Ki Hadjar Dewantara sebagai perintis pendidikan bagi kaum pribumi di zaman penjajahan Belanda. Apakah kaum wanita juga memiliki kontribusi memajukan pendidikan rakyat saat itu? Tentu iya. Dengan mengajar berbagai hal seperti membaca, menulis, menjahit dan merenda, Dewi Sartika merupakan perintis pendidikan bagi kaum perempuan hingga pada akhirnya ia membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia Belanda. Dimana pun, perempuan harus berjuang dengan apa yang ia mampu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun