Globalisasi sering kali terdengar keren. Dunia semakin terkoneksi, barang dari ujung dunia bisa hadir di depan pintu hanya dengan sekali klik, industri berkembang, dan konsumsi terasa semakin mudah. Namun, di balik segala kemudahan itu, pernahkah kita bertanya: siapa yang sebenarnya membayar harga dari semua “kemajuan” ini?
Jawabannya sederhana: bumi kita sendiri.
Fakta Kenaikan Suhu Bumi
Menurut IPCC (2023), suhu rata-rata bumi telah meningkat +1,1°C dibandingkan era pra-industri. Jika emisi gas rumah kaca tidak ditekan, pada dekade 2030-an kenaikan suhu bisa menembus 1,5°C. Sekilas angka itu tampak kecil, tetapi dampaknya sangat besar.
Bukti nyata sudah terjadi di depan mata:
•Banjir besar di Pakistan (2022) menenggelamkan area luas dan berdampak pada 33 juta orang.
•Gelombang panas di Eropa menelan ribuan korban jiwa.
•Kekeringan di Afrika Timur menyebabkan jutaan orang mengalami kelaparan.
Ini bukan lagi bayangan masa depan—semuanya sudah nyata sekarang.
Globalisasi dan Jejak Karbon
Apa hubungannya dengan globalisasi? Globalisasi bukan hanya mempercepat koneksi antarbangsa, tetapi juga mendorong konsumsi besar-besaran.
•Menurut FAO (2022), sistem pangan global menyumbang 26% emisi dunia.
•International Energy Agency (IEA) melaporkan sektor transportasi global menyumbang 24% emisi CO₂.
Artinya, semakin global gaya hidup kita, semakin besar pula jejak karbon yang kita tinggalkan. Pertanyaannya: apakah globalisasi masih bisa disebut “kemajuan” jika pada akhirnya mendekatkan kita pada krisis iklim?
Solusi dari Hal Sederhana
Meski terdengar mengkhawatirkan, bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa. Justru, perubahan bisa dimulai dari langkah sederhana:
•Matikan lampu ketika tidak digunakan dan pilih lampu hemat energi.
•Untuk jarak dekat, biasakan berjalan kaki atau bersepeda—lebih ramah lingkungan sekaligus menyehatkan.
•Kurangi plastik sekali pakai dengan membawa botol minum dan tas belanja sendiri.
•Dukung produk lokal untuk mengurangi jejak karbon transportasi.