Saya ingin menikmati suasana seperti mereka, duduk lalu tersenyum sendiri. Tapi tak lama kemudian, tiba-tiba seorang pedagang asongan duduk di depan saya.Â
Orang ini menarik perhatian saya, bukan karena dia pedagang asongan, tapi karena performance yang agak beda dengan asongan yang sering saya lihat di temoat lain di bangsa yang katanya mulai maju ini.
Dengan pantofel yang digunakan, dan celana bersetrika lincip, topi merah yang digunakan, tak sejaln dengan barang dagangan yang dibawa, apalagi dengan wajah kusut yang ditampilkan.Â
Ah.. Jogja memang beda. Mungkin ini lah model fakta ekonomi Jogja, begitu pikiran ku mengelana ke alam bawah sadar saya tentang nama besar Malioboro.
Duh Gusti... Begitu hebat Engkau ciptakan rasa tenang bagi hambaMu. Engkau berikan kemudahan bagi hamba Mu menikmati indahnya mimpi, walau hanya begini kondisi dan situasi.
Becak bercatkan kuning di bagian slebor dan bertuliskan Mailoboro itu tak seindah kamar hotel yang aku tumpangi malam inj. Tapi lihatlah Gusti..., dia bisa tidur lebih nyenyak, walau hanya berbantalkan sandaran becak.Â
Seakan tak peduli dengan hiruk pikuk dan gegap gempita tawa mereka, celana pendek yang digunakannya laksana selimut empuk yang ada di hotel seberang sana. Duh Gusti.... hati ku terus merintih melihat nasip anak bangsa yang katanya mulai maju menuju masa 4.0 ini...
Saya baru sadar dari kegalauan, saat tiba-tiba abang asongan penarik perhatian itu berdiri dan bergerak tanpa kata. Ah.. Gagal deh wawancara...