Mohon tunggu...
Nurzen Maulana
Nurzen Maulana Mohon Tunggu... Seorang agronomist

Seorang agronomis yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Fenomena "War Takjil": Antara Tradisi Dan Konsumerisme

4 Maret 2025   08:00 Diperbarui: 4 Maret 2025   07:21 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Robert Lens dari Pixabay

Fenomena "war takjil" telah menjadi bagian integral dari budaya Ramadan di Indonesia. Setiap tahun, menjelang waktu berbuka puasa, berbagai tempat, mulai dari pinggir jalan hingga pusat perbelanjaan, dipenuhi dengan pedagang yang menawarkan beragam makanan dan minuman untuk berbuka puasa. Namun, di balik keindahan tradisi ini, muncul pertanyaan penting: Apakah war takjil masih murni sebagai tradisi, atau telah terperangkap dalam arus konsumerisme yang semakin menguat? Dalam tulisan ini, kita akan membahas dinamika antara tradisi dan konsumerisme dalam fenomena war takjil, serta dampaknya terhadap masyarakat.

Tradisi War Takjil

War takjil merupakan istilah yang merujuk pada tempat atau kegiatan menjual makanan dan minuman untuk berbuka puasa. Tradisi ini telah ada sejak lama dan menjadi momen yang dinantikan oleh banyak orang. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022, lebih dari 80% masyarakat Indonesia mengaku menikmati berbuka puasa dengan makanan yang dibeli dari war takjil (BPS, 2022). Hal ini menunjukkan bahwa war takjil bukan hanya sekadar kegiatan jual beli, tetapi juga menjadi bagian dari tradisi yang memperkuat ikatan sosial di antara masyarakat.

Dalam konteks tradisi, war takjil juga mencerminkan keragaman kuliner Indonesia. Setiap daerah memiliki makanan khas yang ditawarkan, mulai dari kolak, gorengan, hingga es buah. Misalnya, di Jakarta, kita bisa menemukan es buah dan martabak manis, sementara di Yogyakarta, ada klepon dan gudeg. Keberagaman ini menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat dan wisatawan yang ingin merasakan kekayaan budaya kuliner Indonesia.

Konsumerisme dalam War Takjil

Namun, seiring dengan berkembangnya waktu, fenomena war takjil juga tidak lepas dari pengaruh konsumerisme. Banyak pedagang yang berlomba-lomba untuk menarik perhatian konsumen dengan menawarkan produk yang tidak hanya lezat, tetapi juga menarik secara visual. Hal ini terlihat dari banyaknya pedagang yang menggunakan media sosial untuk mempromosikan dagangan mereka. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa penggunaan media sosial meningkat hingga 70% selama bulan Ramadan, yang menunjukkan bahwa konsumerisme telah merambah ke dunia digital (APJII, 2022).

Konsumerisme dalam war takjil juga terlihat dari harga yang seringkali tidak wajar. Makanan yang sama, yang mungkin dijual dengan harga murah di luar bulan Ramadan, bisa meloncat harganya hingga dua atau tiga kali lipat selama bulan puasa. Sebuah studi yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI pada tahun 2021 menunjukkan bahwa harga makanan saat war takjil dapat meningkat hingga 150% dibandingkan dengan harga normal (LPEM UI, 2021). Hal ini menciptakan kesenjangan antara tradisi berbagi dan semangat saling membantu yang seharusnya ada dalam bulan puasa.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Dampak dari fenomena war takjil tidak hanya dirasakan oleh konsumen, tetapi juga oleh pedagang. Banyak pedagang kecil yang mengandalkan war takjil sebagai sumber penghasilan utama mereka. Menurut data dari Kementerian Koperasi dan UKM, lebih dari 60% pedagang war takjil adalah usaha mikro dan kecil (UMKM) yang beroperasi secara informal (Kemenkop UKM, 2022). Meskipun demikian, mereka juga harus bersaing dengan pedagang besar yang memiliki modal lebih untuk beriklan dan menawarkan produk yang lebih menarik.

Di sisi lain, fenomena ini juga menciptakan limbah yang cukup signifikan. Menurut laporan dari Greenpeace Indonesia, selama bulan Ramadan, limbah plastik dari kemasan makanan dan minuman meningkat hingga 30% dibandingkan bulan biasa (Greenpeace, 2022). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun war takjil memberikan keuntungan ekonomi, dampak lingkungan yang ditimbulkan harus menjadi perhatian serius bagi kita semua.

Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun