Mohon tunggu...
Zeneirio Putra Habibi
Zeneirio Putra Habibi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Tanjungpura Akt. 2023 / Volunteer American Corner UNTAN

Saya Zeneirio Putra Habibi, biasa dipanggil Rio. Saya sedang menjalani kuliah S1 saya di jurusan Hubungan Internasional, Universitas Tanjungpura. Selain kuliah, saya juga menjadi volunteer di beberapa tempat. Di American Corner saya volunteer sebagai desainer grafis sekaligus PIC event-event, sedangkan di KOMAHI UNTAN saya menjadi bagian dari bidang sosial masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Amerika dan Tiongkok: Perang Ekonomi Dua Adidaya Pada Masa Pemerintahan Presiden Trump

14 Mei 2024   21:27 Diperbarui: 14 Mei 2024   21:57 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dengan turunnya Presiden Barack Obama setelah mencapai batas pencalonan yaitu 2 periode, hal ini memberikan tekanan pada penerus-penerusnya sebagai presiden karena mayoritas dari kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pada periode Presiden Barack Obama dapat dikatakan efektif dan bekerja. Contohnya seperti pada krisis finansial yang menimpa Amerika Serikat pada tahun 2007-2008. Krisis finansial yang saat itu terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti penurunan suku bunga dana federal untuk mengantisipasi resesi ringan di tahun 2001, perubahan undang-undang perbankan sejak tahun 1980 an, serta faktor-faktor lainnya. Kebijakan yang diambil Amerika Serikat di bawah pimpinan Presiden Barack Obama untuk menanggulangi krisis tersebut salah satunya adalah meringankan pajak melalui pemotongan sebesar 3.600,00 USD kepada keluarga kelas menengah dan keluarga pekerja selama empat tahun pertama pemerintahan, memulai kembali pertumbuhan lapangan kerja, dan mengimplementasikan pemotongan pajak penting pada keluarga pekerja dan keluarga dengan mahasiswa menjadi permanen.

Dengan berakhirnya masa jabatan periode kedua Presiden Obama, bermula pula demokrasi yang kembali digelar oleh Amerika Serikat untuk menentukan siapa presiden selanjutnya melalui pemilihan umum. Pada bulan November 2016, pemilihan umum Presiden Amerika Serikat yang ke-58 dilaksanakan dengan dua pasangan calon. Partai Demokrat mendukung Hillary Clinton sebagai calon presiden mereka, mantan menteri luar negeri Amerika Serikat dibawah Presiden Obama, sekaligus istri dari mantan Presiden Amerika Serikat ke-42, Bill Clinton. Sedangkan Partai Republik, mereka mengumumkan Donald Trump, seorang pebisnis yang berubah haluan menjadi politisi, sebagai calon presiden mereka untuk mengikuti kontestasi politik pemilihan umum. 

Pemilihan umum ke-58 tersebut dilaksanakan pada 8 November 2016. Hasil Akhir menyatakan bahwa Calon dari Partai Republik, Donald Trump, mengalahkan calon dari Partai Demokrat, Hillary Clinton. Trump pun secara resmi dilantik sebagai presiden serta Mike Pence sebagai wakil presidennya pada Januari 2017. 

Di mata mayoritas masyarakat dunia, pemerintahan Presiden Donald Trump sering kali dikaitkan dengan kebijakan-kebijakannya yang cenderung kontroversial. Pada awal masa kepresidennya pada 2017, Presiden Trump mengeluarkan kebijakan yang kontroversial yaitu pemberlakukan pembatasan secara besar-besaran terhadap kedatangan wisatawan-wisatawan dari negara seperti Iran, Libya, Somalia, Suriah, Yaman, serta Irak dan Sudan yang telah dikeluarkan dari kebijakan larangan jalan setelah revisi. 5 dari negara tersebut merupakan negara mayoritas muslim, sehingga kebijakan tersebut kerap disebut sebagai kebijakan Muslim Ban. Namun, terlepas dari kebijakan-kebijakan kontroversial yang dihasilkan di masa kepemimpinannya, secara garis besar perekonomian Amerika Serikat kian meningkat meskipun persaingan dalam perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok terus bergejolak.

Hubungan diplomasi antara AS dan Tiongkok selalu menjadi pembahasan publik dan media, terutama dapat kita lihat pada masa pemerintahan Presiden Trump. Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa AS dan Tiongkok adalah pemeran utama dalam berjalannya geopolitik dunia. Terlebih lagi, sejak terjadinya perang dagang AS dan Tiongkok, hal tersebut menjadi faktor krusial yang mempengaruhi sektor-sektor perdagangan internasional. 

Sebelum Trump menjabat sebagai pemimpin negara, sektor perdagangan AS selalu mengalami defisit jika dibandingkan dengan Tiongkok. Tidak lama setelah itu, isu tersebar bahwa Tiongkok dituding atas pencurian aset intelektual milik AS dan menggunakan taktik perdagangan negara yang tidak adil. Atas dasar tersebut, pemerintahan Presiden Trump memutuskan untuk menyatakan perang dagang dengan Tiongkok melalui inisiasi peningkatan tarif impor terhadap ribuan produk yang berasal dari Tiongkok. Selain itu, alasan Presiden Trump menerapkan kebijakan tersebut atas dasar proteksionisme terhadap sektor perdagangan negara, agar produk-produk industri domestik yang kalah bersaing dapat terlindungi dari saingan perusahaan Tiongkok, dan juga agar lapangan kerja dapat tetap tercipta secara konsisten. 

Tidak tinggal diam, Tiongkok juga segera melakukan retaliasi pasar dengan cara yang sama, yaitu peningkatan tarif impor bagi ratusan produk-produk dari AS. Selain dampak pada sektor perdagangan kedua negara, perang dagang ini juga ikut mempengaruhi sektor teknologi dan informasi. Hal ini dikarenakan kebijakan AS yang melakukan pelarangan Google untuk memberikan hak lisensi kepada Huawei, perusahaan teknologi terkuat yang berbasis di Tiongkok, atas dasar keamanan data nasional dan potensi spionase terhadap negara. Tiongkok membalas dengan kebijakan yang melarang masyarakatnya untuk menggunakan produk-produk elektronik yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS, seperti HP dan Dell selama beberapa tahun. Hal ini menjadi dilema di perdagangan internasional karena secara langsung mengganggu rantai perdagangan global di sektor teknologi dan informasi. 

Dalam konteks Politik Luar Negeri, salah satu pemicu yang membuat Presiden Trump bergerak secara impulsif dalam mengeluarkan kebijakan adalah adanya external change atau perubahan pada faktor eksternal, yaitu Tiongkok menantang AS sebagai negara adidaya baru yang mengancam hegemoni AS yang telah berjalan selama puluhan tahun. Namun, akibat dari pergesekan AS dan Tiongkok dalam perang dagang, hal ini tidak hanya berdampak pada kedua negara tersebut, tetapi juga mempengaruhi negara-negara lain. Beberapa negara seperti Taiwan, dan Korea Selatan merasakan dampak langsung seperti pertumbuhan ekonomi yang stagnan, bahkan menurun. Tidak hanya di Asia Timur, beberapa negara di Asia Tenggara seperti Singapura dan Malaysia juga terkena dampaknya.

Secara garis besar, perang dagang memang dapat memberikan keuntungan daripada kompetitor karena bertujuan untuk melemahkan kompetitor itu sendiri. Namun, dalam konteks perpolitikan internasional, perang dagang sangat berpengaruh pada rantai perekonomian internasional, terlebih lagi apabila yang memicu perang dagang adalah negara adidaya yang memiliki pengaruh besar terhadap geopolitik dan ekonomi internasional. Maka, dalam hal ini, perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok sangat berdampak langsung pada hubungan ekonomi negara-negara, terutama negara yang berhubungan dekat dengan AS dan Tiongkok, atau memiliki ikatan perjanjian ekonomi dengan kedua negara tersebut. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun