Catatan Haru dari Hokeng yang Kini Sunyi
Saya masih mengingatnya sejelas cahaya pagi di Hokeng. Nama saya Zefirinus, dan saya pernah menjadi bagian dari kehidupan yang dibentuk oleh sunyi, doa, dan kabut kopi di kaki Gunung Lewotobi. Saya tidak datang dari keluarga berada. Ketika orangtua saya mengantarkan saya ke Seminari San Dominggo Hokeng, saya tahu mereka sedang menaruh seluruh harapan mereka pada satu kata: panggilan.
Saya masih ingat bagaimana ibu saya memeluk saya lama-lama, lalu dengan lirih menyelipkan selembar uang lusuh di saku kemeja putih saya. "Kalau kau lapar di jalan, belilah roti," katanya, padahal saya tahu uang itu bahkan tidak cukup untuk makan dua kali. Meski begitu, yang ibu titipkan sebenarnya bukan hanya uang, melainkan doa yang dibungkus cinta dan pengorbanan, serta harapan bahwa anaknya akan menjadi terang, setidaknya untuk orang lain di kampung.
Di kaki Gunung Lewotobi, tempat embun turun seperti doa dan tanah menyimpan aroma kopi basah, berdirilah San Dominggo: seminari tua yang melahirkan banyak pemimpin. Bangunan itu sederhana, tapi sarat wibawa. Dinding- dindingnya menyimpan kisah ribuan anak muda yang datang dengan kerinduan dan keyakinan bahwa hidup harus dijalani dengan makna.
Hari-hari di Hokeng diwarnai lonceng pagi, misa dalam bahasa Latin, pelajaran akademi dan bahasa Latin, kerja bakti, olahraga, latihan koor, dan malam-malam sunyi yang ditutup dengan doa. Selalu ada tawa, kenakalan yang tersembunyi, dan kisah cinta remaja yang hanya berani ditulis di atas kertas.
Satu tradisi yang tak pernah hilang dari ingatan saya adalah ruang makan yang selalu riuh saat ketua OSIS membacakan surat cinta dari para gadis yang berhasil diselundupkan lewat koperasi, kantin, atau bahkan lewat sopir angkutan pedesaan. Surat-surat itu lolos dari sensor bapak asrama yang dikenal super teliti.
Ketua OSIS berdiri dan membacakan dengan nada dramatis:
"Untuk seminaris yang duduk dua bangku dari kiri, matamu yang redup saat misa membuat hatiku gelisah. Semoga Tuhan yang kausapa setiap pagi, suatu hari mempertemukan kita..."
Tawa meledak. Piring terguncang. Semua bertepuk tangan. Dan teman-teman yang lain akan berseru sambil tertawa: "Saudaraku laku juga... hahaha!"
Kesantunan adalah ciri khas kami. Setiap kali melewati guru, pater, atau tamu, seminaris akan berhenti, menunduk sedikit, dan berkata: "Salam, Tuhan Besertamu." Kalimat itu bukan basa-basi. Itu cara kami menyampaikan hormat, dan mengenali bahwa setiap orang adalah bagian dari proses pembentukan jiwa kami.
Ada hari-hari yang penuh sukacita. Saat menang sepak bola melawan sekolah lain, misalnya. Kami pulang dengan seragam kotor dan wajah berseri. Dan di malam itu, Pater Rektor berdiri di ruang makan dan mengumumkan: