Oleh Zayn Al Muttaqien
Televisi, koran, media online, tak hentinya berbicara politik. Euforia, ingar-bingar, sampai perselisihan pilpres yang tak kunjung padam.
Sore kemarin, saat usai silaturahim, lelah badan memaksa untuk duduk santai di depan televisi. Lebarannya para tokoh masih menghiasi berita terselip di antara kabar mudik yang sedang menjadi headline.
Secangkir kopi panas, kripik, peyek, dan setengah toples nastar telah tersaji, "Nonton apa. Pak?" tanya istriku yang ikut menemani.
"Berita," jawabku seraya mengambil satu buah nastar.
"Berita politik, ya. Selalu panas!" imbuhnya.
Aku tak menjawab, selain sesekali menikmati kue yang ia sajikan.
"Bapak rindu zaman Soeharto," ujarku tiba-tiba.
Sekilas kulihat istriku terperanjat, "Zaman Soeharto lebih baik, ya, dari sekarang?"
"Tidak juga,"
"Tapi, dulu keadaan negara sepertinya aman-aman saja,"
"Tidak juga,"
"Tapi mengapa bapak rindu zaman Soeharto? Padahal saat itu kondisi hidup kita tak sebaik saat ini. Dulu anak-anak masih kecil, beli susu, nyekolahin. Sekarang, anak-anak udah pada kawin, kita gak terlalu mikirin.  Atau jangan-jangan, bapak kangen Rukmini, ya, pacar bapak yang dulu itu,"
Aku memalingkan wajah, melihat ke arah istriku yang mulai curiga. Ah, perempuan, "Bapak rindu zaman Soeharto bukan karena masalah politik atau masalah cinta, Bu. Tapi ini, nih," Aku menunjuk keripik yang ada di tangan kiriku, "Dulu, bapak masih bisa makan keripik. Sekarang, jangankan keripik atau peyek, nastar saja harus diemut dulu. Sekarang serba sulit,"
Wajah istriku langsung berubah, "Ha ... ha ... ha,"