Mohon tunggu...
Zata Al Dzahabi
Zata Al Dzahabi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis, Content Creator, Podcaster

Introvert yang senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mempertanyakan, Kenaikan Cukai Rokok untuk Apa?

18 November 2022   19:13 Diperbarui: 19 November 2022   14:28 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image from: Okezone.com

Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Komarudin mempertanyakan keputusan pemerintah menaikan cukai rokok untuk tahun 2023-2024, padahal APBN untuk tahun 2024 belum juga dilakukan pembahasan secara serius. 

Menurutnya pemerintah perlu memberikan penjelasan kepada publik dan DPR, terkait keputusan penaikan tariff cukai rokok secara sekaligus untuk tahun 2023 dan 2024. 

Hal ini telah diatur dalam pasal 5 ayat (4) UU Cukai apapun alasannya tarif cukai rokok perlu dibahas bersama dan disetujui dengan DPR, sehingga Kementrian Keuangan harus segera melakukan diskusi secara komprehensif mengenai kebijakan ini, begitu kurang lebih kata Puteri pada Senin (7/11/2022). 

Pada 9 November kemarin pemerintah mengumumkan rata-rata kenaikan tarif cukai hasil tembakau, untuk tahun kedepan sebesar 10% beberapa spesifikasi diantaranya; sigaret kretek tangan (SKT) golongan I, II, dan III, tarif cukai naik 5%, sigaret putih mesin (SPM) golongan I dan II 11% hingga 12%, dan sigaret kretek mesin (SKM) golongan I dan II 11,5% hingga 11,75%. 

Terutama untuk industri rokok sigaret kretek tangan yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan, karena kenaikan tarif akan berdampak pada petani tembakau dan pekerja pabrik rokok itu sendiri, tambahnya. Komisi XI, Kemenkeu dan Komisi XI Perlu Segera Lakukan Pembahasan Mengenai Kenaikan Tarif Cukai Rokok, dpr.go.id. (09/11/2022) 

Ahli Ekonomi dan Politisi Faisal Basri berpendapat struktur cukai di Indonesia yang terbagi dalam golongan masih terlalu banyak sehingga kurang efektif, menurutnya "struktur 8 layer masih memberikan degree of maneuverability kepada perusahaan, untuk mengakali kenaikan cukai." 

Mengutip dari DetikFinance dalam artikel yang ditulis oleh Ignacio Geordi Oswaldo Dosen Fakultas Ekonomi UI ini, juga mendesak pemerintah untuk melanjutkan kebijakan simplifikasi struktur dan tarif cukai. 

Karena jika dikaitkan dengan kesehatan batasan produksi 3 miliar batang itu tidak ada hubungannya, terutama terkait batasan produksi golongan 2 Faisal berharap pemerintah bisa merevisi ketentuan mengenai penggolongan pabrik rokok, karena menurutnya itu sudah tidak relevan. 

Sigaret Kretek Mesin (SKM) tidak perlu lagi ada penggolongan karena diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar, adanya penggolongan ini tujuannya untuk UKM dan pabrik rokok mesin itu tidak termasuk UKM, jelas Faisal. 

Pengamat Kebijakan Publik Febri Pangestu, menambahkan bahwa pembedaan berdasarkan jenis dan sistem produksi rokok membuat struktur tarif cukai di Indonesia sangat kompleks.

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani menilai para perokok sebagai beban negara karena memakan anggaran subsidi yang cukup besar, statement tersebut menuai banyak kritikan di media sosial terutama mengenai sumbangan rokok untuk pemasukan negara yang jauh lebih besar, daripada tarif cukai-nya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun