Nilai solidaritas dan keadilan dapat dipraktikkan melalui kegiatan bakti sosial berbasis service‑learning. Siswa tak hanya menyumbang, tetapi menganalisis akar masalah (misalnya mengapa satu kampung kesulitan air bersih). Refleksi tertulis pasca‑kegiatan meneguhkan internalisasi nilai. Data Kementerian Pendidikan (2024) mencatat 27 % siswa di daerah terpencil belum memiliki akses internet stabil. Sekolah perlu kolaborasi dengan pemerintah daerah dan swasta menyediakan Wi‑Fi publik, perpustakaan digital keliling, serta pelatihan literacy mentor bagi guru. Tanpa kesetaraan akses, pembelajaran daring hanya memperlebar jurang.
Meme “kesenjangan sosial” di TikTok adalah fenomena multi‑lapis: hiburan, kritik, sekaligus ekspresi keputusasaan yang dikemas jenaka. Gelak tawa yang lahir bersifat ambivalen menghibur namun menyayat, melepas penat sekaligus menegaskan luka struktural. Dari kaca mata sosiologi, tren ini menampilkan relasi kuasa lama dalam kemasan baru: algoritma memberi ruang, tetapi tetap memonetisasi perhatian dan emosi penonton.
Bagi dunia pendidikan, viralitas meme menghadirkan kesempatan emas untuk menanamkan literasi sosial‑digital, empati antarkelas, dan aksi transformatif. Guru, kurikulum, dan institusi harus menggeser paradigma: bukan sekadar menjejali siswa dengan fakta, tetapi membekali mereka kemampuan mengurai, merespons, dan mengubah realitas ketimpangan. Harapannya, generasi muda yang hari ini tertawa getir kelak menjadi aktor perubahan yang memutus rantai ketidaksetaraan. Suatu saat, mungkin konten bertema “kesenjangan sosial” tak lagi relevan bukan karena bosan, melainkan karena kesenjangan itu sudah menipis. Saat itu tiba, tawa di media sosial bukan lagi penanda perih, melainkan perayaan atas keadilan yang terwujud.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI