Mohon tunggu...
Zamzam Martodihardjo
Zamzam Martodihardjo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang kaum proletar yang sedang belajar hukum, hobi futsal dan penyuka sepakbola italia, serta penikmat ikan asin dan nasi pecel.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Bapak Presiden RI, SBY...Lindungi Kami, Anak-anak Syiah Sampang"

20 Juni 2013   22:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:40 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Bapak Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, kami ingin pulang kampung dan sekolah lagi. Lindungi kami, anak-anak Syiah Sampang”

Dalam sebuah foto yang saya temukan di twitter pada malam hari ini, saya melihat sebuah potret dimana puluhan anak-anak Syiah Sampang bersama seorang ibu yang sudah tua menggendong anaknya. Mereka tidak sedang berfoto selayaknya anak-anak kecil yang lain biasa berfoto, dengan senyum dan raut wajah yang bahagia yang menandakan penghayatan terhadap masa kecil mereka yang indah. Saya menemukan wajah-wajah sedih, wajah-wajah kecewa, raut wajah yang tak seharusnya terlihat dari anak-anak  yang sedang menikmati masa kecilnya.

Sebuah poster mereka tunjukkan pada foto tersebut, sebuah poster yang mencerminkan perasaan hati mereka, sebuah poster tentang keinginan mereka yang ditujukan kepada kepala pemerintahan mereka, presiden yang berkuasa di Negara yang setiap hari mereka injak wilayahnya, seorang Haji yang baru saja mendapat sebuah penghargaan –benar, mendapat, bukan meraih- yang menahbiskannya sebagai seorang negarawan yang membela dan memperjuangkan toleransi.

Mereka tidak sedang menginginkan mainan baru ataupun bepergian ke tempat rekreasi seperti anak-anak lain biasa inginkan. Mereka, anak-anak Syiah itu hanya menginginkan 2 hal. Mereka hanya ingin pulang ke kampung mereka –yang pada kenyataannya rumah-rumah sudah dibakar beberapa bulan yang lalu- dan setelah pulang, mereka ingin kembali ke sekolah mereka, menuntut ilmu, bermain dan bersenda gurau di halaman sekolah, selayaknya anak-anak kecil lain dapatkan setiap harinya.

Beberapa bulan yang lalu, kampung anak-anak tersebut didatangi ratusan orang warga non syiah, yang menyerang dan membakar rumah-rumah mereka. Pemimpin warga syiah tersebut, Ustadz Tajul –menurut informasi yang say abaca- telah ditahan atas dakwaan telah melakukan penodaan agama. Dalam pandangan saya, dalam hal ini, agama bukanlah selembar kain yang bisa ternoda, agama bersih dan akan selalu bersih dan bebas dari noda, bahkan karena ulah mereka yang demi kepentingannya sendiri dan dengan dalih “Untuk Tuhan” telah melakukan sesuatu yang oleh tuhan mereka larang.

Saya tak pernah tahu apa yang salah dengan Syiah dan pengikutnya di mata mereka, saya tak melihat ada yang salah dengan Syiah, dan saya tak mampu dan tak akan pernah mau mencari kesalahannya. Saya tak punya wewenang untuk menyalahkan Syiah dan ajarannya, entah dengan mereka para pelaku kekerasan tersebut. Sekedar informasi, secara singkat, pengertian asal Syiah adalah pengikut atau penolong. Dalam hal ini orang-orang Syiah adalah mereka yang mendukung Ali, menganggapnya sebagai orang yang paling utama setelah Nabi Muhammad SAW. Saya garis bawahi “paling utama setelah”, yang berarti kedudukannya ada setelah Nabi Muhammad, bukan sama utamanya, atau bahkan lebih utama daripada Sang Rasul.

Sesungguhnya saya tak pernah begitu tahu dan paham mengenai Syiah dan ajarannya, namun saya tak harus tahu dan paham benar apa itu Syiah, untuk mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi pada mereka di Sampang, Madura, adalah suatu hal yang –setidaknya bagi saya- tidak bisa diterima dan harus segera disudahi, apapun alasan mereka melakukannya. Apalagi hanya karena mereka mempunyai paham dan ajaran yang berbeda dengan mayoritas kaum Islam lainnya.

******

Dalam agama Islam, ada satu kutipan yang berisi “tak seorang pun diantara kamu yang beriman sepanjang tidak mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. Saya tak mengatakan bahwa kaum Non-Syiah yang menyerang para penganut Syiah itu tak beriman. Karena sebagaimana Romo Mangun katakan, bahwa iman adalah masalah pribadi, dan karena itu selalu bersifat misteri sacral yang tak akan mampu dijamah oleh orang lain.

Satu hal  yang ingin saya tekankan disini adalah, bahwa anda tak harus menjadi seorang yang beriman untuk mengerti bahwa anda tak boleh membenci orang lain yang berbeda dari anda, apapun konteksnya, apalagi mengatasnamakan tuhan dan agamanya. Bahwa anda tak harus menjadi seorang yang beriman, untuk memahami bahwa anda tak boleh mengusir mereka yang berbeda dengan anda, mengusir mereka dari pulau yang sedari lahir mereka injak dan tempati, dan merasa seolah-olah bumi ini adalah milik anda, dan anda bisa dengan seenaknya mengusir siapa-siapa yang tidak anda suka.

Apalagi bahwa kalian, para pengusir, pelaku kekerasan, pembunuhan, dan apapun hal-hal jahat yang telah kalian lakukan, tak ingatkah bahwa kalian adalah golongan yang mengaku beriman, mereka yang melakukan semua kejahatan itu demi membela tuhan kalian, menjaga kemurnian agama kalian dari kaum yang berbeda dari kalian. Tak ingatkah kalian, bahwa Islam mengajarkan tentang perdamaian. Tak ingatkah bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang mencintai golongan apapun, bahkan yang berbeda dari dirinya.

Matius 7:2 menceritakan, bahwa Yesus pernah mengatakan, “Apa yang kamu inginkan dari orang lain untuk lakukan padamu, lakukan juga pada mereka”. Saya percaya, siapapun orangnya, apapun agamanya, siapa dan apapun Tuhan yang ia sembah, -selama ia masih manusia normal dan sehat akalnya- akan menginginkan orang lain untuk berbuat baik pada dirinya, berbuat sesuatu yang bisa ia terima dan lantas mengucapkan terima kasih kepadanya. Tak satupun orang yang mempunyai akal sehat menginginkan orang lain untuk melakukan kekerasan padanya, membakar rumahnya, apalagi mengusirnya dari tempat kelahirannya.

Tak hanya Yesus; dalam Lun Yu: XV:24, Confusius pernah mengatakan, bahwa “apa yang diri sendiri tidak inginkan, janganlah dilakukan kepada orang lain”. Sekali lagi, selama akal piker masih sehat, dalam hal ini bukan penggila kekerasan ataupun mempunyai gangguan mental yang parah, maka tidak akan ada orang yang menyukai dan menginginkan kekerasan. Confusius menyatakan, dalam hal ini, apabila anda tidak menginginkan kekerasan, pemukulan, pembacokan, pembunuhan terjadi pada diri anda, maka jangan lakukan itu pada orang lain, wahai dulur-dulur non-Syiah pelaku kekerasan di Sampang, Madura.

Kemudian, dalam kacamata agama Hindu, dalam Mahabharata XIII 114,8 dituliskan, bahwa “siapapun tidak boleh memperlakukan orang lain dengan cara yang tidak menyenangkan mereka sendiri, demikianlah esensi dari moralitas”. Dari kutipan ini, ada yang salah dengan pemahaman para pelaku kekerasan tersebut mengenai moralitas. Namun, saya tak akan berbicara banyak mengenai moralitas. Saya tertarik berbicara mengenai kedamaian, sesuatu yang –entah apa alasannya- tidak diinginkan oleh para pelaku kekerasan tersebut, karena dalam Hindu, kedamaian adalah sumber kasih. Sebagai penutup, Bhagawan Sai Baba mengungkapkan, “kasih yang murni dapat keluar hanya dari hati yang tenggelam dalam kedamaian”.

Belum lagi dengan pesan dari agama Buddha, dalam Samyuta Nikaya V, 353.35-342.2, ada sebuah pesan, bahwa “keadaan yang tidak menyenangkan bagiku, akan juga demikian bagi dia; dan bagaimana saya bisa membebani orang lain dengan keadaan yang tidak menyenangkan saya?”. Selanjutnya, dalam Buddha juga dijelaskan tentang sesuatu yang disebut dengan Avihimsa yang berarti Tanpa Kekerasan. Dalam Avihimsa ini dijelaskan, bahwa kekerasan bukan cara penyelesaian masalah yang tuntas, sebab kekerasan akan membuahkan kekerasan pula, kekerasan merupakan sumber pertikaian yang tak kunjung selesai. Dalam hal ini, saya rasa sudah cukup jelas, bahwa kekerasan adalah hal yang harus dijauhi, apalagi kekerasan yang terjadi pada warga Syiah di Sampang, Madura.

Disisi lain, terhadap para pelaku kekerasan di Sampang ini, saya tertarik mengangkat gagasan Bertrand Russell mengenai solusi untuk menghentikan si A menyakiti si B. Secara umum, solusi yang dikemukakan Russell adalah solusi dengan menempuh cara non-penal. Akan tetepi, Russell mengibaratkan para pelaku kekerasan ini sebagai anak-anak kecil. Bagi Russell, jika memperlakukan anak kecil –dalam hal ini para pelaku kekerasan di Sampang- dengan hukuman, sama saja kita menanamkan dendam kedalam hati mereka, padahal kita tahu didalam hati mereka sudah ada begitu banyak dendam. Mereka mungkin akan berhenti melakukan kekerasan, namun segera setelah mereka “beranjak dewasa” dan cukup kuat, mereka  akan menemukan orang lain yang akan mereka jatuhi hukuman.

Terhadap pelaku kekerasan ini, saya setuju dengan Russell, bahwa para penegak hukum atau siapapun yang nantinya akan bekerja dalam kasus ini, hukuman tidak akan menyembuhkan mereka. Harus menggunakan cara lain, seperti memberi simpati yang lebih, pengertian yang lebih, mengajari mereka, para pelaku kekerasan tersebut agar muncul sebuah perasaan tidak lagi ingin menyakiti.

Konklusinya, dari semua uraian diatas, semua agama sangat membenci kekerasan, dan mengajarkan tentang perdamaian dan kedamaian, bahkan kepada mereka yang berbeda darinya. Lewat tulisan ini, saya hanya bisa berharap agar seluruh kejahatan, kekerasan, diskriminasi, dan berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi pada warga Syiah di Sampang, Madura, dapat segera diakhiri. Agar anak-anak tersebut bisa segera kembali pulang ke rumah mereka, kembali belajar dan bercanda di sekolah mereka, agar mereka bisa kembali melanjutkan hidup mereka, dan meraih semua impian dan cita-cita mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun