Indonesia kembali bercermin pada wajahnya sendiri, kali ini melalui laporan World Competitiveness Ranking (IMD WCR) 2025. Hasilnya pahit: negara ini merosot 13 peringkat, dari posisi 27 ke posisi 40 dari 69 negara yang diukur. Sebuah penurunan tajam, lebih dari sekadar angka di atas kertas. Di balik data itu, ada potret ketidakmampuan kita menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, efisiensi pemerintahan, daya dukung bisnis, dan kualitas infrastruktur.
Bagi sebagian orang, laporan ini mungkin sekadar berita singkat, terselip di halaman ekonomi. Namun bagi siapa pun yang mencintai negeri ini, data tersebut adalah alarm yang berdentang keras. Mengapa bangsa dengan populasi besar, sumber daya alam melimpah, dan posisi geopolitik strategis justru tertatih menjaga daya saingnya? Pertanyaan ini tidak hanya bersifat teknis, melainkan eksistensial: mau dibawa ke mana arah bangsa ini?
IMD WCR mengukur daya saing sebuah negara melalui empat pilar utama: kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan infrastruktur. Di tahun 2025, Indonesia mengalami kemerosotan di hampir semua aspek. Infrastruktur jatuh ke peringkat 57 dunia, efisiensi pemerintah turun ke posisi 34, dan efisiensi bisnis ke posisi 26. Hanya kinerja ekonomi yang relatif stabil di peringkat 24.
Bandingkan dengan negara tetangga: Malaysia, meski penuh tantangan politik dalam negeri, mampu bertahan di posisi yang lebih kompetitif. Thailand bahkan lebih gesit dalam mengelola infrastruktur pariwisata dan logistik. Vietnam, yang dulu dipandang sebelah mata, kini semakin diperhitungkan sebagai basis manufaktur global. Dalam peta ini, Indonesia tampak seperti raksasa yang terus mengantuk di tepi arena. Penurunan peringkat bukanlah sekadar cermin kelemahan teknokratis. Ia adalah refleksi dari politik yang kehilangan orientasi.Â
Rocky Gerung pernah menyindir bahwa politik Indonesia lebih sibuk menata panggung elektoral ketimbang fondasi negara. Hal ini terlihat jelas: kita meributkan kursi, aliansi, dan drama politik, sementara dunia bergerak cepat dalam menata inovasi, riset, dan tata kelola digital.
Mahfud MD kerap menekankan pentingnya kepastian hukum. Sayangnya, di mata investor global, hukum di Indonesia masih tampak labil. Regulasi mudah berubah mengikuti arah angin politik, sehingga pelaku usaha ragu menanamkan modal jangka panjang. Akibatnya, daya saing melemah bukan karena rakyat malas, melainkan karena sistem tak pernah memberi kepastian.
Dalam bingkai filosofis, situasi ini terasa kafkaesque. Seperti dalam dunia Kafka, warga terjebak dalam birokrasi yang absurd: aturan ada, tetapi tidak menuntun; regulasi terbit, tetapi menimbulkan keruwetan baru. Di sinilah absurditas Camus terasa relevan---bangsa yang memiliki segalanya, namun terus meraba dalam kegelapan.
Saya menulis opini ini bukan sebagai pejabat, bukan pula sebagai analis. Saya hanyalah lulusan ilmu politik, yang secara pribadi, saya adalah bagian dari statistik: generasi muda produktif yang tidak sepenuhnya terserap pasar kerja.
Ketika IMD menulis bahwa Indonesia merosot dalam "efisiensi bisnis" dan "infrastruktur pendidikan," saya merasakannya langsung. Bukan hanya di angka, tetapi di tubuh sendiri. Betapa paradoks: pemerintah berteriak tentang bonus demografi, namun tidak mampu menampung tenaga kerja muda dalam sistem yang sehat. Yang absurd bukanlah pengangguran itu sendiri, melainkan ketika negara merayakan pertumbuhan ekonomi sambil membiarkan generasi mudanya menjadi angka tak berarti dalam laporan tahunan. Di sinilah suara Camus bergaung: "Yang absurd bukanlah kesulitan, tetapi keyakinan bahwa kesulitan itu bisa diabaikan."
Namun sebagai warga negara, ada ruang kecil untuk memberikan sumbangan gagasan. Untuk Pemerintah Daya saing tidak bisa dijaga hanya dengan retorika pertumbuhan ekonomi. Perlu keseriusan membenahi birokrasi, memperkuat riset dan pendidikan tinggi, serta menata infrastruktur dasar. Digitalisasi birokrasi harus menjadi prioritas, bukan sekadar proyek mercusuar.
Untuk Masyarakat Sipil Perlu membangun literasi politik-ekonomi di ruang publik. Diskusi kita sering macet di level sentimen politik, padahal yang dipertaruhkan adalah masa depan daya saing bangsa. Organisasi masyarakat, media, dan akademisi harus berani mengangkat isu ini, bukan hanya isu-isu viral sesaat. Untuk Generasi Muda Jangan berhenti menulis, berdiskusi, dan berjejaring. Ketidakpedulian adalah racun paling berbahaya bagi bangsa. Menulis membuat forum kecil, atau bahkan sekadar mengkritik dengan argumen yang sehat adalah bentuk kontribusi yang nyata.
Hemingway pernah berkata, menulis adalah tindakan keberanian. Bagi generasi muda Indonesia, keberanian menulis berarti melawan rasa apatis dan meyakini bahwa suara sekecil apa pun tetap berharga.