"Kau mencintaiku?"
"Iya, aku bersumpah. "
"Seumur hidupmu?"
"Selama cinta itu ada!"
Anggaplah ini sebuah pembicaraan serius. Antara dua orang yang memungut rasa, merakit asa, kemudian menyusunnya menjadi pigura untuk sebuah sketsa kehidupan. Sumpah atas nama cinta.
Karena hari ini, Sumpah Pemuda dan bulan ini Bulan Bahasa yang kupahami merujuk pada Bahasa Indonesia, kujadikan celotehan melalu tulisan. Kubingkai dengan kata cinta sebagai jembatan. Boleh, ya
"Mencintai" itu Urusan Rasa, Bukan Kata
Sependektahuku, susah mengukur dan menimbang rasa. Belum kutemukan alat ukur yang bisa menjadi rujukan untuk membatasi rasa. Yang bisa dilakukan hanya memilah dan memilih beragam rasa yang menawarkan aneka warna.
Hematku, ketika terujar kata mencintai. Artinya, sudah ada komitmen dari dalam diri. Apapun risiko yang dihadapi. Dorongan komitmen itu berujung janji dari diri. Mungkin juga, janji dalam hati.
Lagi, menurutku. Janji itu, lebih dominan ke dalam diri.
Maka, dibutuhkan sebuah Sumpah sebagai wadah "pembuktian" di luar diri. Sumpah menjadi peluru tambahan untuk menyakinkan unsur dan aspek di luar diri (orang lain?), atas sebuah komitmen diri yang bernama janji.
Berlakunya, sampai kapan?
Aku belum tahu! Jika cinta adalah timbunan Rasa dan Asa yang hadir acapkali tanpa diduga. Agaknya, begitu juga rutenya ketika cinta itu sirna. Dari debar menjadi debu. Dari rindu berakhir pilu. Aih, perih!
Terus, apa kaitannya dengan Cinta dengan Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa?