Jika begitu, ada kemungkinan, anak merasakan tekanan-tekanan yang tak terlihat oleh orangtua, namun terasa berat oleh mereka. Akhirnya, anak lebih memilih menciptakan "ruang" nyaman sendiri. Agar terbebas dari tekanan itu.
Namun, apakah anak mampu terlepas dari beragam tuntutan orangtua? Agar tak dicap anak yang gagal? Sulitkah orangtua menerima kegagalan anak? Kenapa anak tak dibiarkan merasakan kegagalan?
Wuih, akan banyak pertanyaan susulan karena itu. Apatah orangtua tak pernah merasakan kegagalan? Jika pernah, kenapa orangtua tak memberikan tips dan trik, agar anak mampu keluar dari situasi kegagalan yang dihadapi?
Pada umumnya, setiap orang menyukai kisah sukses atau keberhasilan seseorang. Ukurannya? lihat saja buku-buku atau biografi para tokoh! Semua "menjual" kesuksesan. Kukira belum ada buku "5 Cara Gagal Menjadi Pemipin Perusahaan". Iya, kan?
Padahal, secara naluriah. Orang-orang cenderung belajar dari kegagalan dan kesalahan yang dialami sendiri. Tuh, kebalik, kan?
Eh, balik lagi ke orangtua. Terus, apa yang bisa dilakukan dan dipersiapkan orang tua, jika anaknya mengalami kegagalan? Aku tulis menurut refleksiku, ya? Hasil dari membaca beberapa literature tentang orangtua, anak dan kegagalan.
Pertama. Menyiapkan anak menjadi manusia yang memiliki keterampilan mengatasi masalah.
Ada contoh-contoh sederrhana, yang biasa menjadi ajang latihan itu. Misal? Anak kesulitan mengikat tali sepatu, orangtua terbiasa mengikatkan karena gegeregatan dan tak sabar melihatnya. Ketimbang mengajarkan atau membiarkan anak berusaha mengikat sendiri.
Bahkan ada orangtua, jika anak bermasalah dengan anak tetangga atau dengan teman sekolah bahkan guru. Orangtua tampil terdepan sebagai pembela atau penyelesai masalah! Bayangkan, jika orangtua tak ada? Pilihan idealnya, "mendorong" anak menyelesaikan masalahnya sendiri. Kata mendorong di sini, artinya orangtua sudah tahu masalah yang dihadapi.
Kedua. Membantu anak-anak menafsirkan kegagalan itu bukan kekalahan.