"Bapakkuuu...! Maaf lahir batin. Tapi, kami belum bisa datang ke rumah."
"Samo-samo, Nak! Apo kabar cucung?"
"Iko fotonyo, Tuk! Hehe..."
"Hamdallah! Sehat terus, yo?"
Ini percakapan via WA pagi tadi, dari salah satu muridku belasan tahun lalu. Ada beberapa pesan sejenis, yang mengingatkan betapa waktu cepat berlalu. Salah satunya, sapaanku bertukar, dari "Bapak" menjadi "Datuk".
Biasanya, setiap lebaran, akan ada saja di antara mereka (muridku dulu), yang bergantian datang. Entah satu angkatan atau satu gank masa sekolah dulu, atau mengajak keluarganya masing-masing Â
Akupun jadi berandai jika saja tak ada kondisi pandemic covid-19 ini. Maka sapaan Datuk, Kakek atau apalah sapaan lainnya, akan bertambah banyak! Apatah aku merasa semakin tua? Usia pasti tua, tapi ingatan kembali muda, kan?
Akhirnya ingatanku, kembali pada tradisi saat momentum lebaran semasa aku sekolah dulu. Seingatku, mulai duduk di kelas 3 SD hingga kelas 3 SMP. Dan, kukira anak sekolah zaman sekarang jarang atau malah tak lagi lakukan itu. Yaitu tradisi "berlebaran ke rumah guru!"
Aih, aku ceritakan saja, ya?
Dulu, kira-kira dua atau 3 hari sebelum liburan sekolah untuk lebaran. Maka seluruh anggota kelas akan membuat kesepakatan, satu kelas berlebaran ke rumah guru. Dan, semua anggota kelas mesti terlibat serta berfikir serius versi anak-anak masa itu. Kesepakatan apa saja?Â