Satu minggu terakhir, selain sidang di Mahkamah Konstitusi. Kata zonasi menjadi primadona dan acapkali digunakan. Mulai dari pejabat, pakar, pengamat dan praktisi pendidikan, ibu-ibu yang resah gegara mesti antri daftarkan anaknya sekolah, juga Mamang es kopyor. Tentu saja, kalangan aktivis medsos di negara maya dengan segala ke-maha-annya.
Kata zonasi, tumbuh subur bak jamur, yang tak lagi sembunyi di tumpukan jerami sisa panen padi di musim hujan! Seumpama racikan segelas kopi hangat menanti dijatuhi kristal gula. Dan, laksana tetesan hujan yang menyentuh rekah tanah usai kemarau. Maka, tiada hari tanpa kata zonasi!
Nah! Aku pun terseret arus kata zonasi ini. Lebih tepatnya, sebagai "objek belum menderita" dari gegap gempita kata itu. Bermula, gegara berbagi hasil tulisan di Kompasiana ke medsos milikku. Biasanya, artikel di kanal fiksiana. Maka muncul dialog berikut ini.
"Kenapa gak menulis tentang politik, Bang?"
"Udah banyak yang nulis, kan?"
"Puisi juga banyak!"
"Bisanya baru segitu!"
"Coba sesekali tentang pilpres, atau... "
"Iya, nanti dicoba!"
"Menurutku, kalau Abang..."
Cuplikan dialog dengan pertanyaan dan pernyataan seperti itu, beberapa kali diajukan padaku. Biasanya, untuk menutupi penasaran orang yang bertanya, jawabanku tetap sama. Versiku, yang menulis artikel tentang pilpres udah banyak! Minimal di status medsos. Ahaaay..
Seperti pejabat pemutus kebijakan yang merevisi sistem zonasi. Akupun ikut-ikutan merevisi alasanku. Biar merasakan juga begaimana merevisi keputusan itu. Hehe...
Jadi, kutulis saja beberapa revisi alasan kenapa belum menulis tentang politik. Apatah lagi berkaitan dengan pilpres plus satu minggu yang seru karena sidang di Mahkamah Konstitusi. Siapa tahu, ada yang memiliki alasan sama denganku.
Pertama. Secara sederhana, menulis adalah aktivitas menuangkan ide dari diri pribadi kepada orang lain. Versiku, menulis mesti diiiringi oleh pengetahuan dan pengalaman. Jika strata pendidikan atau sekolah dianggap bukan faktor utama.
Toh, banyak penulis yang tak memiliki jenjang pendidikan atau sekolah yang tinggi, namun menghasilkan kualitas tulisan yang dinilai dan dihargai tinggi, tah? Terkait isu politik apatah lagi pilpres, pengetahuan dan pengalamanku masih terbatas. Jadi? Ditunda aja dulu..