Di sini hujan, Bang. Deras!
Satu jam berlalu. Kubaca pesanmu di langit abu-abu. Tapi  disini tak lagi hujan. Hanya menyisakan gerimis tipis. Kureguk gelas berkopi di hadapanku. Regukan terakhir. Dasar gelas hadirkan ampas kopi hitam kecoklatan.
Satu jam menunggu. Aku ditemani putik melati dan sepi. Tiga puntung rokok menemani gelas kosong di atas piring kecil sebagai tadah. Sekaligus asbak rokokku.
"Aku akan bicara dengan Bapak!"
"Akan sama, Bang!"
"Siapa tahu, kali ini hasilnya beda!"
Aku mengingat potongan percakapan. Tiga bulan lalu. Sore itu juga hujan. aku tahu, hujan akan menyamarkan bulir bening matamu. Tanganmu erat merengkuh pinggangku. Ada desakan di bahu kananku. Akupun tahu. Itu kepalamu.
Tak ada pililihan. Hujan tak akan tinggalkan awan. Sudah jelang maghrib. Kau dan aku harus meninggalkan Danau Mas Harum Bestari. Jalanan licin saat hujan. Memaksa roda motor tuaku melindasi aspal dengan putaran perlahan. Tak ada ucapan dibelakang telingaku. Getaran halus di punggungku, memberi tahu. Kau masih membawa serta tangismu. Bersamaku, Â hujan dan motor tua.
"Aku pergi dulu!"
"Bang... "
"Bapak benar. Aku laki-laki!"
"Maafkan Bapak, Bang!"
Terminal Rajabasa sepi aktivitas seusai hujan. Aku kembali mengingat percakapan sore itu. Bukan sore yang sama. Sore saat kau melepasku di Terminal Simpang Nangka. Tak ada hujan. Dan kau tepati janjimu. Tak ada tangisan.
Hujan sudah berhenti, Bang!
Langit kembali menyampaikan pesanmu untukku. kembali kuraih sebatang rokok. Kuhempaskan asapnya membuang resah. Kau benar. Aku mendengar kalimat yang sama dari Bapak. Bukan penolakan tak juga penghinaan.
"Asih anak perempuanku satu-satunya!"
"Iya, Pak!"
"Aku ingin Asih bahagia!"
"Aku akan..."
"Jangan bilang akan! Buktikan!"
"Tapi aku..."
"Masih tiga bulan! Biar Asih selesaikan sekolahnya dulu!"