Muhammad Zaky Alfian (21107020070)
Sosiologi B
UTS Semester Ganjil 2022
Di rumah Kost tempat Hadyi (19) menetap, terdapat beberapa pemuda yang meresahkan penghuni kost lainnya. Kost tersebut terletak di daerah Maguwo dekat Lanud Adi Sucipto. Di Kostnya, terdapat beberapa penghuni yang berasal dari luar Pulau Jawa, yang tinggal di Yogyakarta untuk bersekolah, kuliah, maupun bekerja di instansi yang ada di Yogyakarta. Mereka sering mengajak teman mereka dari luar kost untuk berkumpul sembari nongkrong di kamar itu. Mereka bermain gitar, bernyanyi, mengobrol dengan keras, hingga mabuk-mabukan sampai tertidur di kamar tersebut. Tentu Hal ini meresahkan penghuni kost lain dan juga pemilik kost, karena mereka melakukan hal tersebut di malam hari sampai subuh, serta teman-temannya tidak ikut membayar tagihan kost bulanan pemilik kamar. Beberapa kali sudah ditegur oleh pemilik Kost, tetapi mereka tetap nongkrong lagi setelah beberapa hari.
"Sejujurnya takut sih buat negur sendiri, soalnya takut mereka tersinggung aja. Pernah temenku negur malah dimarahin balik ama mereka" ujar Hadyi saat diwawancarai di Warmindo daerah Umbulharjo (27/10/2022).
Hadyi menjelaskan, ketakutannya disebabkan oleh kejadian yang beberapa bulan lalu menjadi perbincangan. Kelompok yang memiliki golongan etnis yang sama dengan  pemuda-pemuda tersebut melakukan sabotase jalan dan kerusuhan dikarenakan miskomunikasi antara kelompok yang satu dengan yang lain.
"Di kost temenku lebih parah lagi, di depan kostnya ada plakat yang ngelarang anggota kelompok itu buat jadi penghuni kost" tambahnya.
Hadyi menjelaskan bahwa akhirnya pemilik Kost memilih tindakan tegas karena komplain yang sering diajukan oleh penghuni Kost lain. Dengan berlandaskan kesepakatan bersama, penghuni kamar yang sering ramai tersebut diajak berunding dengan halus untuk dikeluarkan dari rumah kost itu karena meresahkan penghuni lain. Ternyata mereka setuju dengan kesepakatan tersebut, dan diperkenankan tinggal sampai selesai kontrak bulanan dari kamar mereka lalu setelah itu mereka hengkang dari kost itu.
Jika diamati, apa yang dialami oleh warga lokal Yogyakarta mengarah pada suatu gejala yaitu Cultural Trauma seperti yang dikemukakan oleh Jeffrey C. Alexander (2004). Cultural Trauma adalah gejala yang terjadi ketika masyarakat terlukai oleh peristiwa yang mengerikan sehingga kesadaran kolektif mereka setuju untuk menandai ingatan tersebut sepanjang hidup, dan mengubah identitas masa depan masyarakat secara fundamental dan tidak dapat diubah. Kerusuhan yang disebabkan oleh kelompok etnis diatas menimbulkan banyak stigma  yang pada akhirnya dapat menjadi sebuah trauma sendiri bagi masyarakat lokal. Banyak pembakaran kios dan perusakan di sekitar Jalan serta blokade jalan. Tetapi jika diamati lagi, hal tersebut tidak cukup untuk menjadi sebuah Cultural Trauma bagi masyarakat lokal Yogyakarta dan disandingkan dengan trauma yang disebabkan oleh perbudakan orang keturunan Afrika di Amerika Serikat, ataupun trauma yang dirasakan oleh Kaum Yahudi setelah terjadinya Holocaust NAZI. Teori yang lebih relevan terhadap kejadian ini adalah pendapat Herbert Blumer (1984) tentang Interaksionisme Simbolik dalam konteks Perspektif Sosiologi Modern.
Herbert Blumer (1900-1987) adalah sosiolog sekaligus psikolog yang mewarisi ide dari George H. Mead, gurunya. Pemikiran Mead sangat terlihat dominan di teori yang dikemukakan Blumer. Pada tahun 1937, Blumer menciptakan istilah Interaksionisme Simbolik yang sampai sekarang menjadi subjek Sosiologi yang berpengaruh. Dalam buku Herbert Blumer yang berjudul Symbolic Interactionism Perspective and Method (1969), Blumer menyatakan bahwa interaksi manusia memiliki sesuatu yang khas, yaitu saling memaknai dan mendefinisikan tindakan mereka. Hal ini dapat diketahui di masyarakat terdapat simbol, interpretasi terhadap suatu hal yang dimaknai agar dapat dipahami.
Dari pemikiran Blumer tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat lokal Yogyakarta memaknai keberadaan kelompok tersebut sebagai hal yang negatif. Mereka berbicara keras, mabuk-mabukan, bergerombol dan nongkrong seenaknya, tidak peduli dengan sekitar, dan lain sebagainya. Mereka terlanjur memaknai golongan masyarakat itu sebagai golongan yang merugikan. Seharusnya warga lokal tidak serta merta menjustifikasi bahwa semua anggota kelompok masyarakat tersebut akan bertindak sama. Masyarakat harus mengetahui juga latar belakang permasalahan yang memicu suatu tindakan terjadi.