Mohon tunggu...
Zakky Abdillah
Zakky Abdillah Mohon Tunggu... Editor - Zakky Abdillah

Masih Awam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Post-truth, Filter Bubble, dan SDM Unggul Indonesia Maju

12 November 2019   13:13 Diperbarui: 12 November 2019   13:29 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan teknologi dan informasi saat ini telah berkembang secara eksponensial. Di era perkembangan industri 4.0, era disrupsi, era post-truth, dan konsep/teori lain yang menggambarkan kondisi era saat ini menunjukkan segala kemajuan dan tantangan di era yang serba dimanjakan oleh teknologi. 

Bagaimana tidak, dulu masyarakat yang kesulitan mengakses informasi yang hanya mengandalkan media koran, majalah, dan televisi, kini semua penyebaran informasi menerapkan teknologi bahkan dalam genggaman kita sendiri melalui smartphone yang kini semua manusia Indonesia punya mulai dari kawula muda hingga tua tak luput mengoperasikannya. 

Dulu masyarakat seolah "dipilihkan" berita oleh pemimpin redaksi masing-masing media massa untuk menentukan agenda masalah publik mana yang perlu ditonjolkan, tapi kini sebaliknya justru masyarakat yang memilih informasi dan beritanya sendiri dan justru berbalik masyarakat yang "memilihkan" topik utama yang harus dibahas dalam halaman depan oleh para pemimpin redaksi media massa. 

Apabila para pemimpin redaksi tak menaruh dalam topik utama tentu menjadi dilema karena seolah menolak permintaan pasar (masyarakat), pasar akan "memboikot", karena mereka tahu apa yang seharusnya mereka dapatkan. Lebih baik cari media massa lainnya yang sesuai keinginan mereka.

Dunia sekarang seolah berbalik. Masyarakat lebih mengedepankan hasrat yang menurutnya benar tanpa mengedepankan fakta, realitas ini bahasa kerennya era kini dilihat sebagai konsep era post-truth. Post-truth sendiri dalam kamus Oxford Dictionary dijelaskan sebagai Describing situations in which objectives fact are less influential in shaping public opinion that appeals to emotion and personal belief. 

Dengan gamblang ditunjukkan bahwa pada era saat ini merupakan situasi dimana fakta-fakta obyektif memberikan pengaruh yang minim dalam membentuk opini publik yang lebih menekan pada emosi dan kepercayaan personal. Ini berarti masyarakat lebih mengedepankan emosi dan kepercayaan kolotnya dibanding menerima suatu kebenaran fakta yang obyektif. 

Kemudian pandangan ini akan melahirkan suatu pembelaan yang luar biasa terhadap anggapan satu-satunya kebenaran yang Ia anggap benar sendiri, yang memberikan implikasi pada kebenaran yang dimiliki oleh orang lain dinilai sebagai keliru sehingga muncul tindakan untuk memusnahkan. Maka selamat datang di era post-truth, era yang melampaui kebenaran, bukan pada kebenaran yang lebih benar, tapi masuk dalam kubangan emosi kepercayaan yang menutup pandangan lain terhadap fakta yang ada.

Kenyataannya era saat ini sangat terlihat, khususnya di Indonesia ini. Sejak masa kampanye pilgub DKI Jakarta akhir 2016 lalu, kampanye pilpres 2018 hingga 2019, bahkan hingga kini kenyataan post-truth terus saja kita rasakan. Di satu sisi masyarakat mendukung habis-habisan calon A sehingga Ia hanya mencari informasi bagus-bagusnya calon A kemudian buruk-buruknya calon B. Begitu pula sebaliknya masyarakat yang mendukung calon B melakukan hal yang demikian. 

Maka saat ini seolah terjadi perpecahan dalam masyarakat Indonesia dalam dua spesies, yakni spesies kampret dan cebong. Tiap hari terus kita merasakan gaungnya permusuhan di antara sesama rakyat Indonesia. Konkret dan nyata sudah efek post-truth pada kehidupan kita, di mana masyarakat yakin dan percaya dengan satu-satunya sumber informasi yang mengafirmasi kepercayaannya dan mengafirmasi bahwa kelompok yang lain salah. 

Lengkap sudah, lama-lama masyarakat Indonesia yang dulu dikenal inklusif, saling menghargai, mengedepankan musyawarah, terbuka, kini akan berevolusi menjadi masyarakat eksklusif, masyarakat yang sengaja menutup dirinya sendiri. 

Mengapa diksi revolusi yang saya pakai? Karena perubahan ini berlangsung dengan cepat, bahkan teknologi yang diterapkan sangat mendukung untuk revolusi masyarakat Indonesia yang inklusif menjadi masyarakat eksklusif. Tak perlu repot-repot pula menjelaskan sebenarnya, karena toh masyarakat eksklusif sudah terjadi saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun