Mohon tunggu...
Zainul Muhammad
Zainul Muhammad Mohon Tunggu... Penulis - Tentang Segalanya

Menjadi manusia yang memanusiakan manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hari Natal: Toleransi dan Budaya Benar Salah

25 Desember 2019   05:17 Diperbarui: 25 Desember 2019   09:25 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perdebatan tentang ucapan selamat Hari Natal di Indonesia seakan menjadi agenda wajib tahunan yang dilakukan oleh Ulama, Ustadz, maupun Ormas. Perdebatan mengenai Ucapan Hari Natal bagi umat Islam seakan tidak ada ujungnya. Duel antara kelompok yang memperbolehkan dan yang melarangnya sama-sama tidak mau kalah, saling beradu argumen dan dalil masing-masing yang sama-sama berdasarkan kepada Al-Qur'an dan Hadis.

Kelompok yang kontra dengan mengucapkan selamat Hari Natal menuding umat Islam yang mengucapkan selamat natal telah melenceng dari akidah, karena dengan berucap Selamat Natal maka ia telah mengakui ketuhanan Yesus.Tentu pernyataan ini didukung oleh dalil-dalil. Tak jarang kelompok ini biasanya melakukan tindakan yang berlebihan yaitu dengan melarang perayaan Hari Natal, sebagaimana di beberapa daerah, seperti di Dharmasraya dan Sijunjung yang langsung dilarang oleh Pemerintah setempat.

Kelompok yang pro dengan mengucapkan selamat Hari Natal mengatakan boleh atas dasar toleransi umat beragama, etika sosial, dan tentu juga mereka berdasarkan kepada dalil-dalil Al-Qur'an maupun Hadis. Kelompok ini menuding mereka yang melarang bahwa tindakan itu merupakan tindakan intoleran dan sudah keterlaluan telah mengaiktannya dengan urusan akidah, padahal ini hanya perihal hubungan sosial dan toleransi antar agama.

Padahal dalam kata toleransi adalah mengandung diskriminasi dari kelompok mayoritas terhadap minoritas. pada kata ini menyimpan bahwa ada yang lebih kuat sehingga menoleransi kepada yang lebih lemah. Sebenarnya harusnya bukanlah toleransi yang dipakai melaikan pluralisme.

Menurut Gus Dur dalam buku Maman Immanulhaq Faqieh Fatwa dan Canda Gus Dur bahwa pluralisme adalah sebuah pandangan yang menghargai  dan mengakui adanya keragaman identitas, seperti suku, agama, budaya, ras, dan lainnya. karena setiap agama tentu memiliki perbedaan dan keunikan masing-masing. Pluralisme, tidak seharusnya menjadi sumber konflik, melainkan seharusnya menjadi sarana bagi manusia untuk memahami anugerah Tuhan agar tercipta toleransi dan harmoni di tengah kehidupan.

Perdebatan ini akan berakhir kepada siapa yang salah dan siapa yang benar. Saling berargumen bahwa pendapat kami yang paling benar, pendapat kalian salah. Apakah perdebatan ini akan menemukan titik temu, sehingga akan tercipta keharmonisan sosial? Jika budaya salah dan benar ini terus dipelihara, maka yang akan terjadi adalah kesenjangan sosial dalam umat Islam sendiri.

Kenapa jika dua kelompok ini dikatakan sama-sama benar atau sama-sama salah?. Sama-sama benar dalam artian mereka ialah sama-sama mempunyai dasar dalil yang kuat dalam mengadopsi teks Al-Qur'an dan Hadis dalam konteks sosial, jika dikatakan sama-sama benar, dan dua kelompok ini juga merasa sama-sama benar tanpa ada yang disalahkan, maka hubungan antar keduanya akan menjadi kekayaan paradigma dalam umat Islam sendiri, bukannya perbedaan pendapat adalah rahmat.

Atau mereka sama-sama disalahkan, dalam artian bahwa mereka sama-sama salah, karena telah saling menyalahkan antara satu dan lainnya. Jika mereka sama-sama merasa salah, maka seyogyanya dua kelompok ini akan berlomba-lomba untuk saling memperbaiki diri masing-masing, serta sama-sama mencari dasar-dasar argumen yang lebih kuat lagi sebagai kekayaan khazanah keilmuan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun