Sekitar tiga tahun lalu catatan ini saya buat. Begini kisahnya:Â
Habis bersepeda 17 kilo melintasi kawasan Car Free Day sepanjang Thamrin, saya menikmati soto ayam di emperan Kemayoran, dekat rumah. Nikmat juga terasa. Hanya sebelas ribu rasanya sudah bisa bertahan hingga sore.
Sesungguhnya saya teramat bersyukur atas karunia-Nya hari ini. Saya masih diberi kesempatan bernafas dan menikmati pagi yang nampak begitu cerah. Masih bisa menikmati soto ayam khas Surabaya ala gerobak di pinggir jalan. Masih bisa menikmati olahraga bersepeda sendirian. Dan masih bisa menyempatkan menulis sembari menikmati menju sederhana dan murah begini.
Entah apa yang mendorong saya untuk menuliskan ini sembari duduk berlama-lama di meja kursi ala kadarnya di hadapan mangkuk soto yang sudah tandas. Ketika pandangan saya tertancap pada si penjual soto ayam, malah pikiran saya berkelana ke mana-mana.Â
Saya ingat politik, saya ingat pasar modal, saya ingat money market, saya ingat warung kopi, saya ingat kebiasaan tiap hari dari mal ke mal, saya ingat hutang piutang, saya ingat kampung halaman, saya ingat ibuku, anak isteriku dan teman-teman yang selalu saya doakan semoga tetap sehat dan bahagia, dan saya ingat hari ini hari minggu. Besok Senin lagi, Bro! Hehehe....
Seperti penggalan kalimat salah seorang motivator yang pernah saya saksikan di TV. Saya ingat kata-katanya, tapi saya lupa orangnya. Dia bilang, bukan orang sukses kalau tak pernah jatuh berkali-kali. Bukan orang berhasil jika tak pernah gagal berkali-kali. Bukan orang hebat jika tak pernah bangkrut berkali-kali. Betulkah itu? Jika betul, wahhh senang dong saya ini. Hahaha... namanya juga motivator ah!
Beberapa kali memang saya habis atau bangkrut. Atau nyaris bangkrutlah, untuk sekadar menghibur diri.
Tercatat akhir 2008 saya habis di bursa saham. Saat terjadi krisis global yang melanda dunia. Bursa saham di seluruh dunia termasuk Bursa Efek Indonesia, ambruk tanpa ampun. Susah payah saya mengumpulkan duit mulai tahun 1995.Â
Disamping saya bekerja jadi pemasaran iklan di Harian Fajar yang penghasilannya lebih dari pada cukup, saya juga jual beli mobil, bisnis billboard, membangun beberapa unit ruko dan sempat jadi pejabat negara di level kabupaten. Tentu saja saya menjadi kekasih terbaik dari sebuah lembaga bernama Bank. Saya mulai mengenal kredit bank di tahun 1999.Â
Dimulai dari seratus juta di bank Panin dengan jaminan rumah saya di Sungguminasa. Teman Husain Abdullah yang membawa saya ketemu Pak Onny Gappa, pimpinan bank Panin waktu itu---sekarang sudah almarhum, Alfatihah buat beliau.
Akhir 2006 saya mulai fokus trading di pasar modal. Mulanya Rp. 40 juta, saya trading dengan keuntungan rata-rata 1% per hari. Saya pikir inilah pekerjaan yang paling menggiurkan.Â