Lebih empat jam dalam mobil berkecepatan lumayan ngebut, dari Polewali Mandar Sulawesi Barat, tak mesti membuat kami harus tiba di Makassar sesegera mungkin. Toh, tak ada sesuatu yang urgen di Makassar yang harus di tuntaskan hari ini juga.
Duduk di jok belakang Innova terbaru, saya bersama tiga orang teman begitu penasaran ingin mencoba sebuah jajanan yang sejak tadi malam kami diskusikan.Â
Padahal, dulu kios-kios penjual Dange ini tidak ada. Yang ada hanya deretan penjual ikan kering setelah jembatan kalau kita dari arah Maros menuju Parepare. Di Maros, ada juga deretan kios penjual pisang manu-manu. Di Mangkoso ada deretan warung sederhana yang menawarkan jagung rebus sepanjang jalan. Sebelum masuk kota Parepare, akan ditemui deretan kios penjual gogos dan telur asing. Saya selalu singgah di tempat-tempat ini, jika kebetulan bepergian ke daerah-daerah utara sekian belas tahun lalu.
Kenapa tiba-tiba kios-kios penjual Dange tumbuh bagaikan jamur di musim hujan, dan menggoda para pelintas jalan di jalur cepat sepanjang Pangkep Barru ini?
Entahlah, yang pasti Puang Haji Bora adalah salah satu orang Segeri yang pertama kali menjual Dange di sebuah toko kecil yang iaberi nama 'Sabah'.
Nah, kami putuskan singgah ke salah satu kios penjual Dange, sebelum masuk kawasan Segeri, Kabupaten Pangkep. Padahal Sejam yang lalu, kami telah menyikat sebelas biji durian  yang manis-manis  di tepi pantai Parepare, sembari manyaksikan kesibukan pelabuhan nun di sana dan menatap-natap Ujung Lero.
Dange Gula Merah khas Segeri, langsung dipesan  Andi Gazly, teman saya itu. Lima belas biji Dange yang masih hangat. Ia hanya membayar Rp. 22.500 saja.
Saya hanya mencomot satu biji Dange, lalu bertanya kepada gadis manis penjualnya. "Dange ini terbuat dari apa, Dinda?" tanya saya sok akrab.
Ia menjawab dengan sumringah, "Beras ketan, kelapa parut dan gula merah. Ditambah..."
"Ditambah senyummu yang manis," sela Heryza tiba-tiba.
Hahaha... gadis itu tersenyum manis betulan.
ZT - Segeri, 7 April 2018