Mohon tunggu...
Ahmad Zaim
Ahmad Zaim Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kritik Akal dan Agama

9 Agustus 2017   11:00 Diperbarui: 9 Agustus 2017   11:05 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belakangan hari kita menyaksikan pemandangan yang cukup menyesakkan. Melihat maraknya ormas yang menggunakan dalil-dalil teks suci sebagi alat propaganda. Di luar dari faktor politis---kedangkalan pemahaman akan pemaknaan teks agama yang rendah menjadi pemicunya. Selain memang latar belakang keluarga yang berpaham konservatif, simpatisan mereka banyak juga dari kalangan mahasiswa yang haus agama tetapi minim pengetahuan tentang esensi agama itu sendiri.

Kelompok ekstrimis mengajarkan doktrin bahwa beragama harus membabi buta. Doktrin iman yang harus buta, dan anti kritik. Memahami ayat secara kolot dan mentah tanpa memberi ruang (kebenaran) bagi paham di luar kelompok mereka. Dalam kenyataan yang terjadi pemimpin kelompok mereka menjadi seolah seperti nabi yang kebenarannya adalah pasti dan tentunya haram kritikan. Keadaan seperti ini yang menjadikan nalar logis mereka terkunci dan mungkin perlahan mati.

Faktor lain yang menyebabkan kemalasan berfikir dalam beragama adalah adanya peluberan informasi, sebagai konsekuensi dari makin digdayanya teknologi---terutama informasi. Internet, TV, media sosial menjadi tempat belajar agama yang paling populer di masa ini.

 Tidak seperti dulu, perlu bertahun-tahun, bahkan belasan tahun untuk mempelajari agama. Perlu nyantri dengan waktu yang lama. Mereka (para santri) dalam mempelajari atau pun mencari sebuah hukum  pun perlu waktu---dengan membaca langsung teks-teks klasik dari pemikir terdahulu. Seringkali mencari langsung di kitab-kitab primer. Adapun budaya bahtsul masail di kalangan santri, budaya seperti ini memberi ruang bahkan untuk kebenaran subjektif sekalipun dengan syarat memiliki dasar yang dapat dipertanggung jawabkan.

Beda dengan yang terjadi saat ini, informasi datang dari mana saja, membanjiri tanpa filter sama sekali. Maka, banyak orang yang memilih jalan pintas. Karena kebanjiran informasi itu, berusaha mencari pegangan keyakinan yang simplistik dan instant,pada saat yang sama mencari jaminan keselamatan dunia-akhirat yang ditawarkan.

 Bagi saya, ini adalah salah satu dari persekian banyak masalah yang dapat memisahkan agama dari akal. Seolah agama meniadakan akal sama sekali dan bergantung total pada teks suci secara apa adanya. Mereka cenderung eksklusif dan monolit, enggan mengakomodasikan pluralitas yang ada di tengah-tengah masyarakat. Akal tidak penting lagi di sini, pernyataan yang menjadi angin segar bagi orang-orang yang membawa paham-paham keyakinan yang bersifat fundamentalistik, integristik total, dan klaim diri sebagai satu-satunya kebenaran.

Bagaimana hubungan akal dalam beragama dalam islam?, mari kita kupas bersama. Sedemikian penting posisi akal dalam agama Islam. Sehingga ada hadis dengan tegas menyatakan: "Tak ada agama bagi orang yang tak punya (menggunakan) akal". "akal", dalam hadis tersebut bisa diterjemahkan dalam beberapa konsep, bisa sebagai opini atau penalaran independen, reason, dan akal budi yang mengandung makna intuisi.

Dalam pengambilan hukum pun Islam menggunakan ijma' atau konsensus dan qiyasatau analogi---keduanya berasal dari akal, dan pemutusannya juga tidak mungkin terlepas dari keadaan sosial dan budaya setempat. Bisa dikatakan tidak mungkin berlaku konservatif dalam menerapkan kedua hukum tersebut---kecuali dalam hal yang bersifat fundamental.

Tetapi saya juga tidak menampik bahwa mungkin akal juga dapat melakukan kekeliruan, karena memang kemampuan akal manusia terbatas. Akal memang tidak akan mampu mencapai urusan ketuhanan, meski di sisi lain dalam sejarah teologi Islam suatu spektrum aliran dalam hubungannya mengenai posisi akal memang acap kali berbeda. Contoh dalam kasus Muktazilah yang percaya bahwa akal bisa sampai nyaris pengetahuan (kebenaran) apa pun---termasuk pengetahuan tentang Tuhan. Berbeda dengan kelompok-tradisional Asy'ariyah.

 Saya juga tidak menafikan bahwa akal juga akan sering keliru. Akal seperti pisau---bermanfaat di tangan orang yang tepat, jika di tangan ibu pisau jadi alat pengupas buah, dan pisau buah akan beralih fungsi di tangan pembunuh. Seperti halnya dalam fiqh,meskipun sering menggunakan prinsip logis dan akal sehat, namun dalam fiqhdipercayai seorang mujtahid (ahli hukum) haruslah orang yang memiliki kebersihan hati dan akhlaq.

Akal juga sebagai pembeda antar makhluk lain dengan manusia, sebagai rasa syukur kepada Tuhan. Pakailah akal untuk beragama secara waras. Memang betul penggunaan akal dalam beragama perlu dibatasi dalam hal-hal tertentu, hal-hal yang bersifat sakral dan tidak pantas dijamah akal yang masih kotor, tetapi itu tidak lantas menjadikan terkurung dan termatikannya akal atas alasan doktrin semata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun