Thrifting atau belanja barang bekas kini menjadi tren di kalangan anak muda. Pakaian dengan model unik hingga bermerek yang dijual dengan harga murah menjadi alasan utama. Sebagian besar pakaian ini masuk melalui jalur impor, bahkan tak jarang masuk secara ilegal, sehingga memunculkan berbagai persoalan baru. Di balik tren ini, ada sisi gelap yang jarang disadari: Indonesia perlahan dijadikan tong sampah fashion dunia.
Setiap tahun, puluhan ribu ton pakaian bekas masuk, dan tidak semuanya layak pakai. Sebagian besar justru berakhir menjadi limbah tekstil yang semakin menumpuk. Fenomena tersebut mengungkap adanya hidden waste atau limbah tersembunyi. Walaupun thrifting dianggap sebuah pilihan untuk menjadi ramah lingkungan dan mengurangi fast fashion namun faktanya banyak pakaian impor yang berakhir menjadi tempat pembuangan dan menjadi limbah tekstil yang semakin sulit untuk ditangani.
Dalam satu karung berisi puluhan hingga ratusan kilogram pakaian yang tidak layak pakai, sering kali ditemukan pakaian yang bernoda bahkan terlalu kotor untuk dijual, beberapa pakaian sintetis pun tak luput dari zat kimia yang berbahaya saat pewarnaan atau finishing yang dapat berdampak bagi kesehatan. Menurut Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), setiap hari sekitar 350 ribu potong pakaian bekas impor masuk ke Indonesia, jumlah yang setara dengan 25 ribu ton per tahun (Antaranews, 2023). Bahkan sepanjang tahun 2025, pemerintah menindak pakaian yang impor secara ilegal dengan nilai yang sangat besar, Kemendag mencatat nilai pakaian impor ilegal yang disita dan diawasi mencapai sekitar Rp 120,65 miliar sebagai upaya memberantas perdagangan ilegal.
Dampak masuknya pakaian bekas impor yang sebagian besar tidak layak pakai membuat lingkungan semakin berat. Pakaian yang tidak bisa terurai bahkan membutuhkan waktu ratusan tahun seperti bahan polyester yang bisa berdampak seperti melepaskan mikro plastik ke tanah dan air. Bahkan tak jarang limbah tekstil ini dibakar dan dapat menyebabkan polusi udara berbahaya. Dampak lain hidden waste dari sisi sosial ekonomi yaitu persaingan antara brand atau thrift lokal dengan barang impor murah, Hal ini mengancam kelangsungan industri tekstil nasional yang padat karya dan berpotensi menimbulkan PHK bahkan kerugian negara karena tidak ada bea masuk dan cukai yang dibayarkan ke negara. dan penting dipahami bahwa pemerintah tidak melarang kegiatan thrifting tetapi melarang impor pakaian bekas ilegal yang dapat merugikan ekonomi bahkan membawa penyakit dan mencemari lingkungan.
Meski demikian, thrifting memiliki sisi positif bagi konsumen, dengan menawarkan akses pakaian yang murah, unik dan bermerek. Bagi sebagian pedagang menjadi peluang bisnis yang menguntungkan jika dikelola dengan baik dan dapat mengurangi konsumsi fast fashion yang boros untuk sumber daya, tetapi hal ini belum bisa menyeimbangkan dampak buruknya terhadap ekonomi lokal.
Untuk menghadapi fast fashion, langkah awal yang diperlukan adalah pemerintah harus memperketat kembali pengamanan tentang jalur masuk perdagangan impor yang masuk melalui perairan Indonesia terutama diantara ribuan pulau yang memiliki celah-celah bagi kapal-kapal kecil atau kapal tanpa identitas yang dapat masuk dengan mudah serta memperketat pengecekan barang impor yang masuk ke Indonesia, karena banyak informasi bahwa barang ilegal tersebut bisa masuk dengan cara diselundupkan dengan barang-barang lain yang masuk secara resmi.
Tak hanya itu, upaya untuk menghindari hidden waste ini pun dapat dilakukan dengan mengutamakan mencari atau membeli barang bekas lokal. Selain membantu mengurangi hidden waste, membeli thrift lokal memungkinkan kita untuk lebih mengetahui asal-usul barang, baik dari siapa bahkan riwayat pemakaian barang tersebut. Kebanyakan thrift lokal adalah pemakaian pribadi sehingga lebih terjamin kebersihannya di banding thrift impor. memperkuat perizinan usaha dagang terhadap orang yang akan membuka toko thrifting impor bisa menjadi salah satu solusi untuk permasalahan limbah bisa dengan cara mendaur ulang.
Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa pengelolaan limbah tekstil tetapi memiliki efektivitas yang masih beragam dan memiliki tantangan yang harus dihadapi. Beberapa pengelolaan limbah tekstil di Indonesia seperti Pable-startup yang mengubah limbah tekstil jadi bahan siap pakai yang mengolah limbah dari industri atau pakaian bekas menjadi benang daur ulang kain dan produk seperti pouch, keset, karpet.
Selain itu, ada Sejauh Mata Memandang dengan program tukar kain, hingga Waste4Change yang bekerja sama dengan industri. Pengelolaan limbah tekstil di Indonesia masih terbatas  pada skala kecil dengan biaya daur ulang yang tinggi, sementara kesadaran masyarakat rendah. Minimnya regulasi dan insentif juga membuat inisiatif sulit berkembang. Tetapi sejauh ini belum ada pengelolaan khusus untuk limbah pakaian bekas impor, tetapi pemerintah menindaki dengan larangan impor baju bekas sesuai dengan Permendag No. 40/2022), dengan itu pemerintah hanya menyita, menimbun, dan membakar barang bukti yang dapat menyebabkan limbah lain, karena komunitas dan swasta itu lebih fokus terhadap limbah lokal.
Dengan ini fenomena thrift impor yang menawarkan barang yang unik dan murah tetapi dibalik itu tersembunyi banyak limbah yang mempengaruhi kesehatan. Indonesia sudah punya berbagai inisiatif daur ulang tekstil, namun skalanya masih terbatas dan butuh dukungan lebih besar. Dengan kolaborasi semua pihak, thrifting bisa menjadi bagian dari solusi keberlanjutan, bukan sumber masalah baru. Karena itu, peran konsumen untuk lebih bijak membeli jadi kunci mengurangi masalah ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI