Di awal tahun 2025 ramai menjadi perbincangan hastag KaburAjaDulu. Khususnya mahasiswa yang meramaikan akun media sosial mereka dengan hastag KaburAjaDulu. Mereka menginisiasi hastag KaburAjaDulu karena merasa prihatin dengan kondisi Negara saat ini, banyak dari mereka berkeinginan untuk ke luar negeri bahkan mereka ingin menetap saja di Negara orang lain. Alasannya karena kita tahu sendiri rezim yang sekarang tidak baik-baik saja, banyak harapan yang dipatahkan, janji yang diingkari dan pembuktian yang tak kunjung nyata. Dr. Hempri Suyatna Dosen FISIPOL UGM mengatakan "adanya fenomena hastag KaburAjaDulu mencerminkan sikap kritis dan sindiran generasi  muda terhadap situasi sosial politik yang terjadi di tanah air saat ini" dikutip dari web UGM pada Kamis (09/10/2025). Bagaimana tidak generasi ini menyindir, melihat total korupsi sebesar Rp984 triliun dikutip dari akun media sosial suaradotcom (09/10/2025). Bahkan akhir-akhir ini total 4.711 kasus keracunan MBG atau singkatan dari makan bergizi gratis, korupsi sudah menjadi berita sehari-hari masyarakat Indonesia, mulai dari korupsi pertamax, korupsi dana haji hingga korupsi makan bergizi gratis. Melihat begitu banyaknya angka dan kasus korupsi tetapi kesejahteraan masyarakatnya sangat amat tidak diperhatikan, banyak anak putus sekolah karena kendala biaya, banyak sarjana yang menganggur karena kurangnya fasilitas lapangan pekerjaan dari pemerintah dan masih banyak isu yang membuat masyarakat geram dan geleng-geleng melihat situasi dan kondisi Indonesia seperti ini.
Jika dilihat ke belakang isu tentang Kabur Aja Dulu ini masih ada benang merah dengan kondisi masyarakat Indonesia tahun 1965 korban dari rezim soeharto atas tragedi G30S PKI. Mereka terpaksa hidup di Luar Negeri, diusir dari negaranya sendiri atau biasa dikenal dengan komunitas eksil. Kebanyakan korban dari eksil tersebut adalah pelajar, diplomat ataupun kaum intelektual yang berada di luar negeri saat ada perubahan politik kala itu dan mereka tidak bisa pulang. Jika komunitas eksil berjuang untuk mempertahankan eksistensi politiknya di luar negeri, maka generasi #Kabur Aja Dulu berjuang untuk mempertahankan kesehatan mental dan identitas dirinya di tengah budaya kerja yang menuntut kesempurnaan
Namun sebenarnya apa sih alasan mereka berbondong-bondong menyuarakan aspirasi Kabur Aja Dulu? Makna apa yang ada dibalik fenomena tersebut?. Keterlibatan gender dalam fenomena Kabur Aja Dulu memiliki andil yang sangat besar, dimana terdapat perbedaan perspektif antara perempuan dan laki-laki dalam menggambarkan fenomena Kabur Aja Dulu. Kabur dalam perspektif laki-laki cenderung mengarah kedalam hal-hal yang berorientasi masa depan, mencari pekerjaan, memperbaiki taraf hidup yang lebih baik dan peluang karir yang menjanjikan. Namun berbanding terbalik dengan perempuan, yang orientasinya mengarah pada kebebasan, melindungi diri dari tekanan sosial, kapan menikah? kapan punya anak? kerja dimana? perempuan kok tidak bekerja? perempuan kok nggak jadi IRT? dan masih banyak hal-hal lain yang menjadi faktor tekanan bagi perempuan. Bisa disimpulkan juga kalau sebenarnya yang dicari perempuan itu sederhana yaitu "ketenangan". Dalam artikel yang berjudul Rationality of Gender Equality of Indonesian Women Migrant Worker penulis menyebutkan salah satu alasan pekerja perempuan bermigrasi selain faktor ekonomi, mereka juga memiliki alasan lain sesuai dan keputusan tersebut merupakan bagian dari gerakan feminis, yaitu gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesetaraan dan keadilan hak dengan laki laki. (Kadarusman, 2005). Dan ketika laki-laki menulis "Kabur aja dulu, capek kerja di sini", komentar yang muncul cenderung simpatik: "Pasti bisa sukses di luar negeri!"
Namun ketika perempuan menulis hal serupa, responnya sering bernada menghakimi: "Kok nyerah sih?", "Kurang bersyukur", atau "perempuan kok gitu?
Pada akhirnya keduanya memiliki tujuan sendiri-sendiri dan ingin terbebas dari kondisi yang membuat tertekan dan menuntut kesempurnaan, sialnya perempuanlah yang harus menjadi korban dari ketidakadilan masyarakat. Ibaratnya jika Kartini dulu menulis surat dalam kesunyian agar terlepas dari budaya patriarki dalam hal ini kabur dalam artian pemikiran sedangkan generasi sekarang kabur melalui media digital seperti caption instagram, tiktok, x atau twitter dsb. Dalam era saat ini makna "kabur" bukan berarti lemah dan menyerah melainkan strategi mereka untuk bertahan dan mendapat kehidupan yang lebih layak.Â
Referensi
Hill. (2022). Indonesian political exiles in the Netherlands after 1965; Postcolonial nationalists in an era of transnationalism Postcolonial nationalists in an era of transnationalism. Jurnal of the Humanities of Indonesia Wacana, Journal of the Humanities of Indonesia.
Hanim, Anifatul, A. Zainuri, and Sudaryanto Sudaryanto. "Rationality of gender equality of Indonesian women migrant worker." International Journal of Scientific and Technology Research 8.9 (2019): 1238-1242.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI