Mohon tunggu...
zahwa adel
zahwa adel Mohon Tunggu... Mahasiswa

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Wilayah Laut Indonesia Dalam Perspektif Hukum Laut internasional

12 Oktober 2025   21:14 Diperbarui: 12 Oktober 2025   22:13 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Oleh : Zahwa Mu Adel

Universitas jambi

PENDAHULUAN
Laut merupakan unsur vital pembentuk identitas dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai negara kepulauan, sebagian besar wilayah Indonesia terdiri atas laut yang memiliki nilai strategis dalam bidang ekonomi, pertahanan, dan integrasi nasional (Kusumaatmadja, 1995). Dalam konteks global, laut menjadi ruang interaksi antarnegara yang diatur oleh United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
Indonesia meratifikasi UNCLOS melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, yang
memperkuat pengakuan dunia terhadap konsep negara kepulauan (Djalal, 1995). Meski
demikian, persoalan seperti klaim tumpang tindih dan sengketa di Laut Natuna Utara masih terjadi (Ardila & Putra, 2021). Artikel opini ini meninjau wilayah laut Indonesia dalam perspektif hukum laut internasional dengan menyoroti peran UNCLOS 1982 dan pandangan Dr. Akbar Kurnia Putra dalam memperkuat kedaulatan maritim nasional.

PEMBAHASAN
Dasar Hukum Penetapan Wilayah Laut Indonesia Dasar hukum penetapan wilayah laut Indonesia berlandaskan pada prinsip archipelagic state yang diakui dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Sebelum pengakuan tersebut, Indonesia telah menegaskan kesatuan wilayah lautnya melalui
Deklarasi Djuanda 1957, yang menjadi fondasi perjuangan diplomatik hingga diterimanya
konsep negara kepulauan dalam UNCLOS (Dao dkk., 2024). Ratifikasi konvensi ini melalui
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 menandai pengakuan internasional atas kedaulatan maritim Indonesia serta integrasi hukum laut internasional ke dalam sistem hukum nasional (Sodik, 2011).
Sejalan dengan hukum laut modern menuntut keseimbangan antara kedaulatan negara pantai dan kepentingan global terhadap kebebasan navigasi. Dalam konteks Indonesia, prinsip UNCLOS juga mengandung tanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan maritim (Kusuma & Putra, 2024). Dengan demikian, dasar hukum wilayah laut Indonesia bertumpu pada dua hal: pengakuan internasional atas status negara kepulauan dan penerapan prinsip UNCLOS sebagai pedoman pengelolaan laut yang berdaulat dan berkelanjutan.
Zona-Zona Wilayah Laut Indonesia
Pembagian wilayah laut Indonesia berpedoman pada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang diadopsi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Ketentuan ini menetapkan batas kedaulatan dan yurisdiksi atas laut serta sumber dayanya, meliputi laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen (Souza dkk., 2022). Laut teritorial sejauh 12 mil laut dari garis pangkal kepulauan memberikan kedaulatan penuh kepada Indonesia atas perairan, dasar laut, dan ruang udara di atasnya (Purwaka, 2015).
Namun, negara tetap wajib memberikan hak lintas damai bagi kapal asing selama tidak
mengganggu keamanan nasional (Agoes, 1991). Zona tambahan yang membentang hingga 24 mil laut memberi kewenangan untuk menegakkan hukum di bidang kepabeanan, imigrasi, dan karantina (Mauna, 2005). Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut memberikan hak berdaulat bagi Indonesia untuk mengelola sumber daya alam hayati dan nonhayati (Sodik, 2011). Namun, zona ini juga menjadi arena diplomasi maritim karena sering terjadi tumpang tindih klaim dengan negara tetangga seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia (Putri & Pertiwi, 2024). Kerja sama bilateral antara Indonesia dan Filipina menjadi contoh penerapan prinsip keadilan dalam delimitasi maritim (Yuliartini & Pardani, 2022).
Landas kontinen mencakup dasar laut hingga tepi luar tepian benua atau maksimal 200 mil
laut, di mana Indonesia memiliki hak eksplorasi sumber daya mineral dan biota dasar laut (Hasan dkk., 2024). Penetapan batas landas kontinen sering menimbulkan persoalan teknis dan hukum, sehingga diperlukan penguatan diplomasi serta pemanfaatan teknologi pemetaan
seperti Geographic Information System (Wardhono dkk., 2022). Secara keseluruhan, pembagian zona laut tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga menjadi instrumen strategis untuk menjaga kedaulatan dan kesejahteraan nasional. Dengan dukungan hukum UNCLOS 1982 dan diplomasi maritim yang solid, Indonesia dapat menegaskan posisinya sebagai negara kepulauan yang berdaulat dan berperan aktif dalam menjaga stabilitas
kawasan. Sengketa dan Tantangan Wilayah Laut Indonesia Sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi tantangan kompleks dalam menetapkan dan mengelola batas maritimnya. Meskipun United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 telah memberi dasar hukum yang jelas, penerapannya sering terkendala faktor geopolitik dan teknis (Ardila & Putra, 2021). Letak geografis Indonesia yang diapit dua
samudra dan dua benua membuat penetapan batas laut memerlukan kemampuan diplomasi dan dukungan teknis yang kuat (Djalal, 1995).
Salah satu sengketa menonjol terjadi di Laut Natuna Utara, di mana klaim sepihak Republik
Rakyat Tiongkok melalui konsep nine-dash line bertentangan dengan prinsip Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dalam UNCLOS 1982. Dr. Akbar Kurnia Putra menilai persoalan ini bukan semata soal batas geografis, tetapi juga menyangkut legitimasi hukum internasional dan keamanan nasional Indonesia (Ardila & Putra, 2021). Sengketa serupa juga terjadi del imitasi batas dengan Timor-Leste dan Palau akibat perbedaan garis dasar serta keterbatasan data teknis (Wardhono dkk., 2022).
Pengalaman Indonesia dan Filipina dalam menyepakati batas ZEE pada tahun 2014
menunjukkan bahwa diplomasi berbasis dialog dan kompromi menjadi solusi efektif dalam
penyelesaian sengketa maritim (Yuliartini & Pardani, 2022). Karena itu, Indonesia perlu
memperkuat implementasi UNCLOS melalui kebijakan nasional yang konsisten, pemanfaatan teknologi kelautan, serta diplomasi maritim yang adaptif terhadap dinamika kawasan. Sejalan dengan Kusuma dan Putra (2024), hukum laut internasional tidak hanya menjadi instrumen hukum, tetapi juga sarana menjaga keseimbangan antara kepentingan global dan kedaulatan
nasional.
Pandangan Akademisi dan Kontribusi Dr. Akbar Kurnia Putra Kajian mengenai wilayah laut Indonesia telah lama menjadi perhatian para ahli hukum internasional. Tokoh seperti Mochtar Kusumaatmadja dan Hasjim Djalal menegaskan bahwa United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 merupakan tonggak penting
pengakuan konsep Wawasan Nusantara, yang menegaskan kesatuan wilayah darat dan laut
Indonesia sebagai dasar legitimasi kedaulatan maritim serta pengelolaan laut berkelanjutan
(Susetyorini, 2019).
Dalam konteks kontemporer, Dr. Akbar Kurnia Putra, S.H., M.H., berperan penting dalam
mengembangkan pemikiran hukum laut agar relevan dengan tantangan modern. Melalui
kajiannya bersama Ardila (2021), ia menilai sengketa Laut Natuna Utara bukan sekadar
persoalan batas geografis, melainkan ujian bagi efektivitas UNCLOS dan kedaulatan hukum internasional. Bersama Kusuma (2024), Dr. Putra menegaskan dua dimensi utama UNCLOS:
sebagai dasar legitimasi kedaulatan laut dan mekanisme perlindungan lingkungan global,
dengan penekanan bahwa "kedaulatan maritim harus berjalan seiring tanggung jawab
ekologis."Selain kontribusi teoretis, Dr. Putra mendorong diplomasi hukum (legal diplomacy) sebagai strategi penyelesaian sengketa batas laut melalui kerja sama dan dialog antarnegara. Pandangan
ini sejalan dengan (Purwaka, 2015), yang menilai bahwa kekuatan maritim Indonesia akan kokoh bila kebijakan hukum dan diplomasi berjalan selaras. Dengan demikian, pemikiran Dr. Akbar Kurnia Putra memperkuat tradisi hukum laut Indonesia yang berorientasi pada kedaulatan, keadilan, dan tanggung jawab terhadap lingkungan laut global.

PENUTUP

Kesimpulan
Wilayah laut Indonesia memiliki posisi strategis dalam hukum laut internasional dan diakui melalui UNCLOS 1982 sebagai dasar kedaulatan maritim nasional. Meski dihadapkan padatantangan seperti tumpang tindih klaim dan persoalan delimitasi batas, Indonesia terus memperkuat diplomasi dan implementasi hukum laut. Pemikiran para ahli, terutama Dr. Akbar Kurnia  Putra, menegaskan bahwa kedaulatan maritim harus sejalan dengan tanggung jawab ekologis agar kebijakan kelautan Indonesia tetap berkeadilan, adaptif, dan berperan aktif dalam
menjaga stabilitas kawasan.

DAFTAR PUSTAKA
Agoes, E. R. (1991). Konvensi Hukum Laut: Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing. Abardin.
Ardila, R., & Putra, A. K. (2021). Sengketa Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Studi Kasus Klaim Cina Atas Laut Natuna Utara). Uti Possidetis: Journal of International Law, 1(3), 358–377. https://doi.org/10.22437/up.v1i3.10895
Dao, Y., Suwarno, P., & Widodo, P. (2024). The Concept of the Archipelagic State in Addressing Maritime Security Threats. Formosa Journal of Social Sciences (FJSS), 3(4).
Djalal, H. (1995). Indonesia and the Law of the Sea. Centre for Strategic and International Studies (CSIS Press).
Hasan, A. M., Islam, M. S., & Chowdhury, Md. M. A. (2024). Analysis of International Legal Frameworks on Maritime Boundary Delimitation: Bangladesh Case Study. Selcuk Universitesi Hukuk Fakultesi Dergisi. https://doi.org/10.15337/suhfd.1428205
Kusuma, A. D. E., & Putra, A. K. (2024). The Role of UNCLOS 1982 in Maintaining and Protecting the International Marine Environment. Lampung Journal of International Law, 6(1), 21–30. https://doi.org/10.25041/lajil.v6i1.3379
Kusumaatmadja, M. (1995). Hukum laut internasional. Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan.
Mauna, B. (2005). Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Alumni.
Purwaka, T. H. (2015). Tinjauan Hukum Laut Terhadap Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mimbar hukum - fakultas hukum universitas gadjah mada, 26(3), 355. https://doi.org/10.22146/jmh.16024
Putri, I. F. M., & Pertiwi, S. B. (2024). Faktor Keberhasilan Delimitasi Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Filipina. Andalas Journal of International Studies (AJIS), 13(1), 91. https://doi.org/10.25077/ajis.13.1.91-113.2024
Sodik, D. M. (2011). Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia. Refika Aditama.
Souza, M. D., Coutaz, G., & Karalekas, D. (2022). ASIAN TERRITORIAL AND MARITIME DISPUTES: A Critical Introduction. E-INTERNATIONAL RELATIONS.
Susetyorini, P. (2019). Kebijakan Kelautan Indonesia Dalam Perspektif Unclos 1982. Masalah-Masalah Hukum, 48(2), 164. https://doi.org/10.14710/mmh.48.2.2019.164-177
Wardhono, I. Y., Lesmana, N. B., Djunarsjah, E., & Trismadi, T. (2022). Kajian Teknis Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Palau di Samudera Pasifik: Technical Study on Exclusive Economic Zone (EEZ) Delimitation between Indonesia and Palau in the Pacific Ocean. Jurnal Chart Datum, 1(1), 47–56. https://doi.org/10.37875/chartdatum.v1i1.11
Yuliartini, N. P. R., & Pardani, N. K. C. (2022). Cooperation Between Indonesia and the Philippines in Maritime Affairs Related to Eez (exclusive Economic Zone) Based on the United Nations Convention on the Law of the Sea of 1982 or Unclos. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 8(2), 71–87. https://doi.org/10.23887/jkh.v8i2.47094

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun