Kewarganegaraan merupakan konsep fundamental dalam kehidupan bernegara karena menjadi dasar hubungan antara individu dan negara. Ia tidak hanya mencerminkan status hukum seseorang, tetapi juga hak, kewajiban, dan identitas sosial yang melekat pada kehidupan bersama. Dalam konteks Indonesia, konsep kewarganegaraan memiliki makna yang luas dan dinamis, mencakup dimensi hukum, politik, sosial, serta moral. Untuk memahami konsep kewarganegaraan Indonesia secara lebih mendalam, pemikiran dari dua sosiolog besar, T.H. Marshall dan Bryan S. Turner, memberikan pijakan teoretis yang sangat berharga.
Kedua pemikir ini mengkaji kewarganegaraan bukan hanya sebagai status hukum, tetapi juga sebagai fenomena sosial yang berhubungan erat dengan perkembangan masyarakat, kesetaraan, dan partisipasi. Dengan memadukan gagasan mereka dalam konteks Indonesia, kita dapat menilai sejauh mana sistem kewarganegaraan Indonesia telah mencerminkan cita-cita keadilan sosial dan demokrasi substantif sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
T.H. Marshall merupakan seorang sosiolog Inggris, ia memandang kewarganegaraan sebagai sesuatu yang tumbuh secara bertahap dalam sejarah. Dalam bukunya Citizenship and Social Class (1950), ia memandang kewarganegaraan sebagai suatu proses historis yang berkembang dalam tiga tahap, yaitu hak sipil, hak politik, dan hak sosial. Pertama, hak sipil (civil rights) mencakup kebebasan individu seperti kebebasan berbicara, beragama, memperoleh keadilan, dan hak atas perlindungan hukum. Kedua, hak politik (political rights) berkaitan dengan partisipasi warga dalam pemerintahan, seperti hak memilih dan dipilih, serta hak untuk terlibat dalam proses politik. Ketiga, hak sosial (social rights) mencakup hak untuk hidup layak, memperoleh pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Menurut Marshall, kewarganegaraan yang ideal adalah ketika ketiga dimensi ini berkembang secara seimbang dan saling menopang. Tanpa keseimbangan tersebut, kehidupan bernegara akan timpang: jika hanya hak politik yang kuat tanpa hak sosial, maka demokrasi akan rapuh; sebaliknya, jika hak sosial diabaikan, maka keadilan sosial tidak akan terwujud.
Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia, pandangan Marshall memiliki relevansi yang kuat. Sebagai negara demokrasi dengan dasar ideologi Pancasila, Indonesia secara konstitusional menjamin ketiga dimensi hak tersebut. Indonesia menempatkan hak sipil, politik, dan sosial sebagai bagian integral dari sistem kenegaraan. UUD 1945 telah mengatur hak sipil seperti kebebasan beragama, kebebasan berserikat, dan kebebasan mengemukakan pendapat; hak politik melalui pemilihan umum yang bebas dan langsung; serta hak sosial yang tercermin dalam kewajiban negara untuk menyejahterakan rakyat.
Namun dalam praktiknya, ketidakseimbangan antarhak tersebut masih menjadi persoalan utama dalam kewarganegaraan Indonesia. Misalnya, ketimpangan pendidikan di daerah tertinggal atau terbatasnya akses layanan kesehatan di wilayah perbatasan. Di sisi lain, hak sipil juga belum sepenuhnya terjamin bagi kelompok minoritas. Misalnya, masih ada diskriminasi terhadap kelompok agama tertentu, serta pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Fenomena ini menunjukkan bahwa konsep kewarganegaraan Indonesia masih dalam proses menuju bentuk ideal sebagaimana dikemukakan Marshall, yaitu kewarganegaraan yang menjamin kesetaraan hak bagi semua warga tanpa kecuali.
Dengan demikian, jika menggunakan kerangka Marshall, Indonesia perlu memperkuat dimensi sosial dan sipil agar dapat menyeimbangkan kemajuan di bidang politik. Kewarganegaraan Indonesia seharusnya tidak hanya diukur dari partisipasi dalam pemilu, tetapi juga dari sejauh mana negara mampu memberikan keadilan sosial dan kesempatan yang setara bagi seluruh rakyatnya.
Sementara itu, Bryan S. Turner menawarkan pandangan yang lebih kritis dan sosiologis terhadap konsep kewarganegaraan. Dalam karyanya Citizenship and Capitalism (1986) dan Citizenship and Social Theory (1993), Turner melihat bahwa kewarganegaraan tidak hanya berkaitan dengan hak dan kewajiban formal, tetapi juga dengan dinamika kekuasaan, identitas, dan globalisasi. Menurut Turner, kewarganegaraan harus dipahami sebagai konstruksi sosial yang berhubungan erat dengan faktor ekonomi, budaya, dan globalisasi. Dalam pandangan Turner, menjadi warga negara berarti juga menjadi bagian dari komunitas yang mengakui keberagaman identitas dan memberi ruang bagi semua individu untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Ia juga menekankan pentingnya dimensi kultural dalam kewarganegaraan, yakni sejauh mana seseorang merasa diakui, dihargai, dan memiliki rasa keterikatan terhadap komunitas nasionalnya.
Dalam konteks Indonesia, pemikiran Turner ini sangat relevan untuk memahami kompleksitas kewarganegaraan di tengah keberagaman etnis, agama, dan budaya. Kewarganegaraan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh status hukum, tetapi juga oleh sejauh mana setiap individu merasa diterima dalam kerangka kebangsaan yang majemuk. Namun, dalam realitas sosial, masih terdapat berbagai tantangan dalam mewujudkan kewarganegaraan yang benar-benar inklusif. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas, intoleransi antaragama, serta ketimpangan sosial masih sering muncul. Hal ini memperlihatkan bahwa pengakuan kultural belum sejalan dengan pengakuan hukum.
Turner mengingatkan bahwa tanpa pengakuan identitas dan kesetaraan sosial, kewarganegaraan hanya menjadi label hukum tanpa makna sosial. Indonesia, dalam hal ini, perlu memperkuat dimensi kultural kewarganegaraan, yaitu memastikan bahwa setiap individu, apa pun latar belakangnya, merasa menjadi bagian dari bangsa ini secara utuh.