Mohon tunggu...
zahran fajar rezqa
zahran fajar rezqa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Japra Gendeng

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ihwal Kemanusiaan: Membombardir Ranjang Senggama demi Berhala

28 Oktober 2021   15:15 Diperbarui: 28 Oktober 2021   15:18 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Siapa sangka musibah kemanusiaan akan hinggap di dalam jalinan kemesraan. Meski pada dasarnya cinta berikut kemesraan selalu menjanjikan kebahagiaan, kemudian malah menjadi jadi sumber petaka bagi sesamanya. Sungguh sangat ironi, tangan yang sudah berpuluh-puluh tahun saling terpaut kasih sayang harus kandas di atas ranjang senggamanya sendiri.

Yang tadinya saling melindungi kini siap-siap meretas yang pernah dilindunginya, mengganti pelukan dengan pukulan, mengganti pujian dengan caci maki. Ajaibnya semua itu dilakukan bersama-sama. Sehingga apalah arti kebersamaan jika kebencian terus-menerus mendistorsi sisi kemanusiaan kita, alam pun tidak bersedia memberikan keluasannya. Maka, yang dirasa oleh para pembenci, yang hatinya terhijab dari cinta adalah kesumpekkan serta kesempitan dalam arti luas.

Padahal penyulut api peperangan itu amatlah remeh temeh; beda pendapat, beda pilihan calon kepala desa, beda organisasi, dll. Lalu itu semua diabsahkan begitu saja sebagai alasan untuk membombardir ikatan-ikatan, membakar singgasana cinta, seolah tak sampai kepala serta hati untuk menciptakan manusia dan kemanusiaan. Yang ada, hewan semua. Bahkan, lebih rusak daripada hewan.

Amatlah pedih melihat manusia gunduk-gundukkan membuang cinta kasihnya. Saling mengorbankan darah saudaranya demi apa yang diinginkan pribadinya terwujud. Hingga susah rasanya menerima segala yang bertentangan dengan isi kepalanya sendiri. Inikah yang disebut-sebut sebagai petaka yang akan menimpa manusia-manusia di zaman modern?. Di mana pada saat yang bersamaan banyak orang cerdas bermekaran, namun banyak juga penderitaan dan kekacauan yang terlahir.

Komando Ego: Menuntut

Persaudaraan dan cinta selalu dimahkotai oleh sikap memberi. Maka, tak lengkap rasanya apabila kita mendeklarasikan cinta namun tak ada sikap rela berkorban, saling memberi, saling mengerti dsb. Oleh sebab itu, membangun jiwa pecinta amatlah berat, sebab tidak lagi dapat memanjakan ego sendiri. Tindakan mereka sepenuhnya didedikasikan untuk sesuatu yang mereka cintai.

Pasalnya, ada sebuah keniscayaan yang semakin sini semakin menjadi trend di tengah-tengah kehidupan bersosial, yaitu tradisi meminta dan menuntut. Hal ini menjadi altar tersendiri bagi tumbuhnya egoisme, dari skala terkecil (individu) kemudian meluas hingga skala kebudayaan global. Walaupun tidak semua tuntutan menunjukkan vibrasi yang sama dengan egoisme, namun salah satu ciri khas dari ketamakan ego adalah sikap tersebut.

Secara tidak langsung dan secara simbolik manusia yang termakan kondisi seperti di atas, menjadikan ego seolah-olah sebagai perwujudan dari hakikat dirinya. Bahkan lebih dari itu, para filsuf moralis banyak menyebut "Ego" sebagai berhala psikologis manusia. Seperti yang dideskripsikan oleh Ali Syari'ati dalam bukunya berjudul, religion vs religion, ia mengelaborasi Q.S 37:95 dengan memberikan indikasi-indikasi egoistik, yaitu; penyembahan terhadap berhala yang bersifat non-fisik. Menurutnya, sejak dahulu umat manusia yang memiliki tradisi menyembah berhala, tidak serta-merta menyembah suatu wujud fisik begitu saja. Melainkan konsepsi berhala-berhala fisik tersebut diawali dengan suatu abstraksi berhala non-fisik, yaitu kebodohan.

Apa yang lebih berbahaya? Apakah berhala fisik atau non-fisik? Coba kita pikir, bahwasanya berhala-berhala fisik lebih mudah kita hancurkan. Sepanjang sejarah agama dan kepercayaan telah tercipta berjuta-juta berhala berbentuk patung dsb. Namun banyak juga yang telah hancur dan hanya tersisa beberapa saja hingga saat ini. Di antaranya, hancur beriringan dengan matinya para pengikutnya. Kenyataan yang datang kepada kita adalah pemahaman bahwa hakikatnya patung-patung itu mati, lalu dihidupkan oleh para pengikutnya.

Berarti, berhala non-fisik yang hidup di kepala-kepala manusialah sumber dari terciptanya berhala fisik. Oleh karena itu, indikasi-indikasi berhala non-fisik inilah yang harus kita hancurkan terlebih dahulu. Pasalnya, berhala non-fisik yang dimaksud sangat berkaitan erat dengan ego manusia itu sendiri. Seperti yang dijelaskan Laleh Bakhtiar bahwasanya, sikap-sikap semacam menolak kebenaran yang berbeda, jumud pikir (Kebodohan), cinta yang membuat manusia buta, terlahirnya kebencian, dll. Itu semua adalah indikasi egoistik yang tumbuh dalam berhala non-fisik.

Mengonfrontasikan Diri Dengan Berhala Non-fisik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun