Ada yang gugur namun tetap menghidupkan. Ada yang hilang dari pandangan, tetapi menetap dalam kenangan. Begitulah makna dari kusuma, bunga yang mekar bukan hanya di taman, tetapi di hati setiap orang yang mengenal keindahan dan ketulusan. Dalam kehidupan, mereka yang menjadi permata bangsa adalah harum yang tak lekang oleh waktu, bahkan ketika kelopak telah jatuh di tanah. Kusuma di sini bukan hanya sebutan bagi bunga, melainkan simbol bagi pribadi-pribadi yang mengharumkan nama, memberi makna pada zaman, dan menorehkan jejak yang tidak akan hilang.
Bunga selalu mengajarkan pelajaran tentang waktu. Tidak ada mekar yang abadi, tidak ada warna yang selalu cemerlang. Namun, justru karena kefanaannya, kita belajar menghargai setiap helai yang mekar. Keindahan sejati bukan diukur dari lamanya ia hadir, melainkan dari wangi kebaikan yang ia tinggalkan. Begitulah pula manusia, wajah akan memudar tetapi keharuman nama dan perbuatan akan tetap mengisi udara di sekelilingnya bahkan setelah ia tidak lagi ada.
Dalam berbagai budaya, sebutan bunga diberikan kepada mereka yang mengharumkan nama bangsa. Mereka bisa berupa pahlawan, cendekiawan, seniman, atau bahkan orang sederhana yang memberi dampak besar tanpa pernah meminta sorotan. Ada yang mekar di tengah sorak sorai, ada pula yang tumbuh dalam sunyi menyerupai bunga malam yang hanya mengeluarkan aromanya ketika dunia tertidur. Setiap harum memiliki waktu dan cara sendiri untuk hadir, namun semuanya sama-sama memberi arti.
Di balik setiap harum, ada perjalanan panjang yang sering kali tidak terlihat. Bunga bangsa dibentuk oleh tempaan hidup seperti pendidikan yang membentuk pikirannya, nilai keluarga yang membentuk hatinya, dan pengalaman yang menempanya menjadi pribadi teguh. Mereka pernah menjadi benih rapuh yang hampir patah oleh badai lalu bertunas kembali hingga akhirnya mekar. Namun, kata mekar tidak berarti selesai. Kelopak yang gugur justru menjadi benih baru yang menyuburkan tanah untuk generasi berikutnya.
Ada pula bunga yang tumbuh di tempat sulit seperti di celah batu, di tebing curam, atau di tanah kering. Keindahan seperti ini mengajarkan bahwa kemuliaan hati dapat lahir dari keterbatasan. Mereka yang bertahan di tengah kesulitan namun tetap menyebarkan kebaikan adalah harum yang tidak diciptakan oleh kemewahan, melainkan oleh keberanian dan keteguhan. Bahkan di lingkungan yang keras, mereka memilih untuk menjadi sumber keindahan, bukan duri.
Bunga tidak pernah memilih siapa yang boleh menikmati keindahan atau harumnya. Burung, lebah, dan manusia, semuanya disambut sama. Begitu pula teladan sejati yang tidak membeda-bedakan dalam memberi bantuan. Harum yang mereka tebarkan menembus batas kasta, jabatan, dan latar belakang, menjangkau siapa saja yang membutuhkan. Seperti bunga yang memberi madu tanpa bertanya siapa yang datang, hati mereka tetap terbuka tanpa syarat.
Wangi nama yang mereka tinggalkan sering kali lebih kuat daripada rupa mereka semasa hidup. Wajah akan pudar, tubuh akan rapuh, tetapi kisah tentang keberanian, kesetiaan, dan pengabdian akan tetap segar di hati. Sama seperti bunga yang menjadi lambang cinta dan perdamaian, mereka mengajarkan bahwa keindahan sejati lahir dari ketulusan. Kehadiran mereka adalah napas yang menyegarkan di tengah hiruk pikuk kehidupan.
Bila suatu hari kita melihat bunga di taman, mungkin kita sedang mengingat mereka yang telah mewarnai hidup kita. Kelopak adalah lambang keindahan, batang adalah kekuatan, dan wangi adalah jejak abadi dari hati yang mulia. Harum itu tidak lekang waktu dan ia terus hidup meski kelopak telah gugur. Dalam setiap hela udara yang membawa aroma itu, kita diingatkan bahwa keindahan sejati bukan pada lamanya ia hadir, tetapi pada kedalaman makna yang ia tinggalkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI