Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pertemuan Wisma Nusantara, Kegalauan Surya Paloh dan Kepemimpinan Jokowi

27 Oktober 2022   07:23 Diperbarui: 27 Oktober 2022   07:43 1125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surya Paloh dan Presiden Joko Widodo | Foto: Kompas.com

Dalam konteks kejelasan pasangan capres-cawapres, tak ada hasil berarti pada pertemuan kedua antara Surya Paloh dan Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. Pertemuan yang terjadi hari rabu kemarin tanggal 26/10/202 di Wisma Nusantara, hanya menunjukkan makin kuatnya dominasi Surya Paloh atas AHY. Dihadapan Paloh, AHY bagai anak yang dapat nasihat dari bapak.

Sekali lagi, di dunia politik ya segitulah kualitas AHY. Mestinya, melihat perkembangan terkini, dimana Nasdem lagi butuh kejelasan, AHY tampil garang. Meskipun tentu tak harus marah-marah atau pakai nada tinggi. Tetap pakai bahasa halus dan gestur “mendayu-dayu” sebagai ciri khas AHY, namun isinya tajam. Langsung lakukan kuncian pada Pak Paloh dengan pertanyaan, “mau koalisi atau tidak..?”.

Tapi biarlah itu kemudian jadi catatan perjalanan sejarah Nasdem dan Demokrat. Cuma, melihat kualitas hasil pertemuan Wisma Nusantara ternyata tak seberapa dibanding perasaan hati Suya Paloh saat ini. Terutama soal hubungannya dengan Presiden Joko Widodo. Setelah Ketum Nasdem tersebut mendapat sindiran untuk tidak boleh sembrono dan jangan kesusu pilih capres.

Anda tahu, walau bukan Ketua Umum partai dan tak bisa lagi ikut kontestasi pada pilpres 2024, eksistensi Pak Jokowi tetap jadi rujukan. Secara politik, menjadi tokoh sentral yang tak bisa dipandang remeh. Bu Mega saja, sampai harus cari waktu khusus buat bela-belain ketemu Jokowi di Batu Tulis. Untuk apalagi kalau bukan karena besarnya pengaruh “petugas partai” itu.

Surya Paloh tentu sadar akan kondisi demikian. Maka meskipun kelak di 2024 “berseberangan” dengan Pak Jokowi, Paloh pusing juga jika harus konfrontasi secara terbuka. 

Paling tidak, tak saling merusak dan tetap punya hubungan baik, sudah cukup buat meredam kekuatan Jokowi. Mengapa demikian, karena “musuh” yang diam, masih lebih baik dibanding yang bergerak blusukan kesana-kemari.

Dan itulah yang diharap para tokoh “musuh” presiden Jokowi. Sekali lagi, diamnya saja sudah merupakan karunia. Kedaaan sebaliknya tentu ada di pihak sebelah Surya Paloh. Yaitu para politisi yang ingin presiden berikutnya punya satu visi dan kesamaan misi dengan Jokowi. Apa yang diinginkan mereka ini..? Selain kesinambungan, yang lebih utama tentu adalah limpahan suara.

Jika Pak Jokowi secara terbuka mendukung capres dari kelompok “kontra” Surya Paloh, maka hanya dalam satu gebrakan akan sukses mendulang dua keberhasilan sekaligus. 

Pertama, sanggup membendung suara Jokowi yang mungkin mengalir pada kelompok Paloh. Dan kedua, sekaligus menyedot suara itu masuk ke jaringan vox pop mereka sendiri.

Kita tahu, belakangan ini santer manuver delegitimasi terhadap Jokowi. Apakah pelakunya ada dalam satu jaringan dengan Surya Paloh..? Tak tahulah saya. Cuma, kalau melihat kepentingan pilpres 2024, kelihatannya sejalan. Para pelaku ingin menurunkan citra Jokowi dengan harapan tak punya kekuatan lagi kasih pengaruh. Sementara Pak Paloh, ingin jagoannya Si Anies Baswedan dapat limpahan suara dan menang pilpres.

Selama memerintah hampir dua periode, banyak kebijakan Pak Jokowi yang kerapkali membuat pihak oportunis kelimpungan. Mereka ini tak leluasa lagi memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Sesuatu yang mungkin dengan mudah didapatkan sebelumnya. Kepada mereka ini Pak Jokowi punya sikap sangat tegas dan berani. Apa itu..? Hambat jaringannya, singkirkan kelompoknya dan patahkan kekuatannya.

Demi menjalankan misinya itu, Pak Jokowi kreatif membuat program kerja. Beliau cari yang sekiranya tak mampu diakses para pelaku opportunis, kecuali oleh orang-orang beliau sendiri. 

Cara demikian ternyata cukup efektif. Meski tentu butuh waktu lama. Tak bisa dilihat hasilnya sekarang juga. Mengingat jaringan para opportunis sudah terbentuk sangat lama jauh sebelum Pak Jokowi masuk istana.

Contoh program kreatif Pak Jokowi yang sekarang sudah menuai sukses adalah stop ekspor nikel. Dengan cara ini, disamping mampu menggeser mafia yang merugikan negara, keuntungan yang didapat juga lebih besar dibanding kebijakan sebelumnya. 

Kata Pak Bahlil Menteri Investasi dan Kepala BKPM, setelah stop ekspor nikel, nilai tambah yang mampu diraih sepanjang 2021 mencapai US$ 20.9 miliar. Ini setara dengan Rp 326 triliun jika kurs rupiah Rp 15.600/US$ (CNBC Indonesia, 26/10/2022).

Kedepan, larangan ekspor timah juga akan diberlakukan. Dikutip dari sumber yang sama, Pak Jokowi hanya menunggu hasil kajian dari Tim Pokja Timah. Kalau sudah berlaku, tentu keuntungan yang didapat bisa seperti nikel. Naah, kebijakan model begini ini yang saya sebut tadi program kreatif. Yang dampaknya sanggup membendung dominasi kepentingan satu kelompok.

Dan sebaliknya, mampu memindah keuntungan dari yang sebelumnya hanya dinikmati segelintir orang, menjadi dana besar yang masuk ke kas negara. Untuk selanjutnya digunakan buat kepentingan rakyat. 

Misal bangun jalan, jembatan, pelabuhan, bandar udara, bendungan, program bansos, pemberdayaan dan sebagainya. Pastinya yang demikian jauh lebih baik, daripada uang masuk kantong pribadi para mafia.

Kepedulian Pak Jokowi pada wong cilik memang tak perlu diragukan lagi. Hampir semua kebijakan yang diputuskan punya muara kesana. Hanya saja, justru itu yang kemudian mengusik kepentingan para opportunis tadi. Karena berakibat “pemasukan” mereka jadi mengecil. Maka kedepan, perlu dicari capres yang tak punya integritas dan keberanian macam Jokowi. Caranya, ya itu tadi, runtuhkan integritas dan legitimansinya.

Kalau sudah runtuh, akan sulit memindahkan vox pop publik yang dimiliki kepada capres yang didukung Jokowi. Maka harapannya, presiden terpilih adalah sosok yang punya karakter berbanding terbalik dibanding mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu. Para opportunis kembali punya jaringan dan kuasa mengatur sumber daya alam.

Menjadi pertanyaan sekarang, apakah hati Pak Surya Paloh saat ini tak diliputi rasa bersalah setelah harus “berseberangan” dengan Pak Jokowi..? Kemudian, apakah pencalonan Anies sebagai capres oleh Nasdem tidak dianggap dalam rangka memutus mata rantai kelanjutan sikap, ketegasan dan keberpihakan model Pak Jokowi kepada presiden berikutnya..? Terakhir, apakah orang-orang opprtunis yang dirugikan oleh kebijakan Pak Jokowi saat ini ada dibelakang skenario pencapresan Anies Baswedan..?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun