Generasi bocil ini adalah bukti nyata bahwa Bantengan bukan sekadar warisan nenek moyang, melainkan warisan hidup yang ditransmisikan. Dengan melibatkan anak-anak, tradisi ini tidak hanya dipertahankan, tetapi juga dipersembahkan kepada masa depan.
Suara Pelaku Budaya: Sekilas tentang Komunitas Wahyu Putro Prowongso
Festival ini juga menjadi ruang bertemunya berbagai komunitas bantengan dari Malang Raya.
Saya berkesempatan berbincang dengan salah satu pelaku budaya dari Komunitas Wahyu Putro Prowongso, Bapak Dalu Open. Komunitas ini yang berbasis di Dadapan, Pandanrejo, Kota Batu.
Tanggal 28 November 2012 adalah hari paling bersejarah bagi komunitas ini. Saat itu, Komunitas Putro Manunggal Sejati berganti nama menjadi Wahyu Putro Prowongso. Nama ini dipilih dengan harapan agar putra-putra Mbah Prowongso mampu meneruskan, membangkitkan, dan mengembangkan budaya Bantengan.
Komunitas ini berdiri atas inisiatif anak-anak muda Dadapan yang tergugah hatinya akan seni tradisional: Bantengan, Pencak, dan Jaranan Dor. Mereka ingin menyediakan wadah bagi bakat generasi muda di bidang kesenian.
Dalam perjalanannya, Wahyu Putro Prowongso terus berinovasi, menjalin kerja sama dengan komunitas eksternal, sekaligus menghimpun kreativitas masyarakat setempat.
“Tentu ada banyak tantangan. Tapi setiap hambatan menjadi pelajaran untuk melangkah lebih baik. Kami berharap komunitas ini semakin kuat, baik dari segi organisasi maupun sumber daya manusianya,” ungkap Pak Dalu.
Peran komunitas ini terbukti penting, terutama dalam memberikan ruang ekspresi sekaligus menjaga agar seni bantengan tetap hidup di tengah arus modernisasi.