"Tuhan memberi agar kita belajar memberi "
Dalam hidup, ada dua kata sederhana yang sering kita ucapkan, namun tak selalu kita renungkan secara mendalam:"Terima kasih."Dua kata ini terasa ringan di lidah, tapi bagi Bapak saya, kata ini mengandung prinsip hidup yang kokoh, dalam, dan menghidupi.
Bapak tidak mengajarkannya dengan teori panjang atau petuah rumit, melainkan melalui laku hidup yang konsisten dan penjelasan yang lembut namun mengakar.
Bagi Bapak, "terima kasih" bukan hanya ungkapan sopan saat menerima sesuatu. Ia adalah prinsip spiritual, sosial, dan etis yang harus ditanamkan dan dijalankan dalam keseharian.Â
Kata itu sendiri, katanya, sudah mengandung dua hal penting: "terima" dan "kasih."
"Setiap kali kamu menerima, kamu juga harus memberi kasih. Kalau cuma terima saja, itu bukan ''terima kasih," begitu kata Bapak suatu hari, sambil menyeruput kopi hitam dan menatap halaman yang baru saja disiram air hujan.
Penjelasannya sederhana, tapi menggugah. Bahwa ketika kita menerima rahmat entah itu rezeki, pertolongan, dukungan, bahkan pelukan atau senyuman dari sesama, kita tidak boleh berhenti hanya sampai di situ. Kita punya tanggung jawab moral dan spiritual untuk meneruskan kebaikan itu, meskipun hanya dalam bentuk kecil.Â
Kita harus berbagi, beramal, bersedekah, menolong, mendengarkan, menyapa, mendoakan, dan menyayangi pribadi-pribadi yang lain, terlebih pada mereka yang membutuhkan.
Sebesar atau sekecil apa pun yang kita terima, haruslah melahirkan tindakan kasih. Karena kasih, kata Bapak, bukan konsep abstrak. Ia hanya nyata jika dilakukan.
Selalu lekat dalam ingatan, bagaimana Bapak tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk memberi, bahkan ketika kami sekeluarga tidak sedang dalam kondisi berlebih.