Di sebuah dusun kecil bernama Curahjati, yang terletak di Desa Grajagan, Banyuwangi Selatan, berdiri sebuah gereja Katolik yang telah menjadi saksi tumbuhnya iman dan budaya selama lebih dari satu abad.
Paroki Maria Ratu Para Rasul Curahjati bukan sekadar tempat ibadah, tetapi juga menjadi akar dari tumbuhnya komunitas Katolik di wilayah Banyuwangi dan sekitarnya. Di sinilah kisah iman dan kearifan lokal berpadu, membentuk jalinan sejarah yang mengesankan.
Di sinilah terletak Gua Maria Jatiningrum yang dulu dikenal dengan Gua Maria “Waluyaning Tiyang Sakit” Curahjati di mana terdapat air suci yang diyakini menjadi “air penyembuh” bagi orang sakit.
Awal Mula Misi Katolik di Timur Jawa
Sejarah panjang Paroki Curahjati bermula dari kehadiran dua misionaris Katolik asal Belanda: Romo Linus Henkens dan Romo Gias Wouters. Mereka tiba di wilayah Banyuwangi pada tahun 1924 dan melihat potensi tanah subur serta masyarakat yang siap menerima kabar gembira. Mereka memilih mendirikan sebuah gereja kecil di Glagah Agung, Dusun Karetan, yang kala itu masih menjadi bagian dari Stasi Paroki Santo Yusuf Jember.
Para pendatang dari Jawa Tengah, seperti dari Boro, Kalibawang, dan Sendangsono, ikut menetap dan menjadi fondasi awal komunitas Katolik. Bahkan, beberapa dari mereka adalah orang-orang yang dibaptis di Sendangsono pada tahun 1924. Permandian pertama di Curahjati sendiri tercatat pada 12 Januari 1928 oleh Pastor Emanuel Stutient, O.Carm.
Namun, pada tahun 1945, karena perubahan kebijakan Dinas Perhutani, gereja di Glagah Agung harus dipindahkan ke lokasi yang kini menjadi Dusun Curahjati. Proses perpindahan ini menjadi momentum penting dalam sejarah gereja lokal, karena sejak saat itulah Curahjati menjadi pusat kegiatan umat Katolik di kawasan ini.
Menjadi Paroki dan Pusat Penyebaran Iman
Tanggal 1 Agustus 1956 menjadi tonggak penting: Paroki Curahjati resmi berdiri berdasarkan Surat Keputusan Keuskupan. Pastor Borggreve, O.Carm, ditunjuk sebagai pastor paroki pertama. Sejak saat itu, Curahjati tumbuh menjadi pusat penyebaran Gereja Katolik di wilayah antara Jember dan Banyuwangi. Dari sini, lahirlah paroki-paroki baru seperti Jajag, Genteng, Kalibaru, dan Glenmore.
Paroki Curahjati mencakup wilayah yang luas, berbatasan dengan Rogojampi di utara, Laut Selatan di selatan (Pantai Grajagan), Siliragung di barat, dan Taman Nasional Alas Purwo di timur. Keberagaman etnis dan budaya umat di sini, termasuk Jawa, Madura, Bali, hingga etnis lokal, memperkaya dinamika paroki ini.
Gua Maria Jatiningrum: Simbol Devosi, Harapan, dan Kesembuhan
Tak jauh dari gereja, berdirilah Gua Maria Jatiningrum, tempat devosi umat Katolik yang menjadi ikon spiritual Paroki Curahjati. Dibangun pada tahun 1956 oleh Pastor Borggreve, O.Carm, dan umat setempat, gua ini awalnya dikenal dengan nama Gua Maria Waluyaning Tiyang Sakit, yang berarti “Bunda Maria penyembuh orang sakit”. Nama itu bukan sekadar simbolik, melainkan mencerminkan pengalaman umat yang menemukan penghiburan, pemulihan, dan harapan saat berdoa di sana.
Di dalam gua ini terdapat air suci yang dapat diambil dari sumur suci yang dipercaya memiliki manfaat rohani, bahkan diyakini sebagai sarana kesembuhan bagi orang yang sakit. Para peziarah biasanya menggunakan air ini sambil berdoa, sebagai wujud iman mereka akan pertolongan Bunda Maria.
Di sini terdapat griya semedi, tempat umat yang ingin bermeditasi atau berkontemplasi. Tempat yang sejuk, hening, dan dilingkupi suasana kedamaian. Bagi peziarah dari luar kota atau pulau dapat menginap di rumah penginapan yang sudah tersedia di tempat ini.
Pada 15 Agustus 1956, gua ini diberkati oleh Uskup Malang, Mgr Antonius Everardo Johanes Albers, O.Carm, dan resmi menjadi tempat devosi bagi umat setempat dan sekitarnya. Tahun 1995, namanya diubah menjadi Gua Maria Jatiningrum, namun makna spiritualnya tetap mendalam.
Kini, pada Tahun Yubileum 2025, Gua Maria Jatiningrum menjadi tujuan ziarah umat Katolik dari berbagai kota di Indonesia. Ketenangan suasana, kesederhanaan bangunan, serta kekuatan doa menjadikan tempat ini sebagai oase rohani di tengah dunia yang semakin hiruk pikuk.
Tradisi Safari Patung Bunda Maria
Satu tradisi yang unik dan menjadi ciri khas Paroki Curahjati adalah Safari Patung Bunda Maria. Dimulai sejak tahun 2006 untuk merayakan HUT ke-50 Paroki, setiap tanggal 31 Mei, patung Bunda Maria diarak mengelilingi tujuh stasi dan pusat paroki.
Prosesi ini bukan sekadar perarakan, tapi juga menjadi ajang kebersamaan umat. Mobil pengiring dihias seperti kendaraan karnaval, dan umat dari tiap stasi memakai busana unik sesuai kreativitas mereka. Patung Bunda Maria ini adalah patung pertama yang ditempatkan di Gua Maria Jatiningrum, menjadikannya simbol sejarah dan kesetiaan umat. Devosi malam bergilir di setiap stasi mempererat tali persaudaraan lintas wilayah.
Gotong Royong sebagai Jiwa Paroki
Keunikan Paroki Curahjati bukan hanya pada warisan sejarah, tapi juga budaya gotong royong yang kuat. Perayaan Panca Windu Paroki tahun 1996 adalah salah satu contoh nyata: tanpa anggaran konsumsi, sekitar 1000 umat hadir dan membawa makanan masing-masing dari rumah. Sajian berlimpah, suasana hangat, dan pesta iman berjalan penuh syukur. Mata pencaharian mayoritas umat sebagai petani tercermin dalam bentuk persembahan hasil panen saat misa-misa besar.
Semangat kebersamaan ini membuat Paroki Curahjati berkembang pesat dan mampu berdiri sejajar dengan paroki-paroki lain yang lebih dahulu berdiri.
Budaya sebagai Jalan Pewartaan
Sejak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik mendorong inkulturasi, yaitu mengintegrasikan nilai budaya lokal ke dalam kehidupan gereja. Paroki Curahjati merespons semangat ini dengan cemerlang. Romo Hugo Susdianto, O.Carm (1996–2000) mengajak umat memainkan seni jedor dalam misa dan membentuk grup "Slaka Cupu Rohani".
Lalu pada era Romo Yustinus Slamet Riyadi, O.Carm (2001–2006), gereja bahkan menjadi tempat pagelaran wayang kulit, karawitan, dan ruwatan Katolik. Romo Yus, seorang dalang sekaligus imam, memperkenalkan Wayang Wahyu dan mempertemukan umat Katolik dan non-Katolik dalam Sanggar Seni Bodronoyo. Pewartaan menjadi lebih inklusif dan membumi lewat pendekatan budaya.
Bahkan dalam ruwatan Katolik, Romo Yus menyisipkan nilai-nilai Injil dan ajaran Yesus ke dalam narasi pewayangan. Hal ini menjadi jalan baru pewartaan yang disukai masyarakat luas, termasuk umat non-Katolik.
Musik Janger dan Dialog Antaragama
Karena letaknya yang berdekatan dengan Bali, Paroki Curahjati juga mengadopsi musik Janger ke dalam liturgi sejak tahun 2002. Musik ini diiringi lagu-lagu dari “Madah Bakti” dan “Kidung Adi”, dengan nuansa pelog yang cocok diselaraskan.
Uniknya, pemusik Janger tak hanya berasal dari umat Katolik, tetapi juga dari komunitas Muslim dan Hindu. Hal ini memperlihatkan kuatnya relasi lintas iman di Paroki Curahjati. Musik menjadi jembatan dialog dan memperkuat semangat persaudaraan yang ramah dan terbuka.
Gereja yang Membumi dan Menyatu
Paroki Maria Ratu Para Rasul Curahjati adalah contoh nyata dari gereja yang membumi, yang tidak hanya mewartakan kabar gembira secara rohani, tetapi juga merangkul budaya lokal dan menjalin persaudaraan lintas iman. Iman yang hidup di Curahjati bukanlah iman yang kaku, tetapi iman yang tumbuh bersama tradisi, nilai gotong royong, dan kepekaan sosial.
Dari tanah pertanian yang subur, dari desa yang sederhana, tumbuhlah komunitas Katolik yang kuat dan kreatif. Paroki ini membuktikan bahwa iman, budaya, dan kebersamaan bisa berjalan seiring sebagai kekuatan membangun Gereja yang hidup dan penuh kasih.
Bagi siapa pun yang datang ke Curahjati, baik sebagai peziarah maupun pencari ketenangan, mereka akan mendapati bahwa di ujung timur Pulau Jawa ini, iman Katolik berakar dalam tanah budaya, dan berbuah dalam kasih persaudaraan. Salam Lestari, Salam Toleransi! (Yy)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI