Keunikan Paroki Curahjati bukan hanya pada warisan sejarah, tapi juga budaya gotong royong yang kuat. Perayaan Panca Windu Paroki tahun 1996 adalah salah satu contoh nyata: tanpa anggaran konsumsi, sekitar 1000 umat hadir dan membawa makanan masing-masing dari rumah. Sajian berlimpah, suasana hangat, dan pesta iman berjalan penuh syukur. Mata pencaharian mayoritas umat sebagai petani tercermin dalam bentuk persembahan hasil panen saat misa-misa besar.
Semangat kebersamaan ini membuat Paroki Curahjati berkembang pesat dan mampu berdiri sejajar dengan paroki-paroki lain yang lebih dahulu berdiri.
Budaya sebagai Jalan Pewartaan
Sejak Konsili Vatikan II, Gereja Katolik mendorong inkulturasi, yaitu mengintegrasikan nilai budaya lokal ke dalam kehidupan gereja. Paroki Curahjati merespons semangat ini dengan cemerlang. Romo Hugo Susdianto, O.Carm (1996–2000) mengajak umat memainkan seni jedor dalam misa dan membentuk grup "Slaka Cupu Rohani".
Lalu pada era Romo Yustinus Slamet Riyadi, O.Carm (2001–2006), gereja bahkan menjadi tempat pagelaran wayang kulit, karawitan, dan ruwatan Katolik. Romo Yus, seorang dalang sekaligus imam, memperkenalkan Wayang Wahyu dan mempertemukan umat Katolik dan non-Katolik dalam Sanggar Seni Bodronoyo. Pewartaan menjadi lebih inklusif dan membumi lewat pendekatan budaya.
Bahkan dalam ruwatan Katolik, Romo Yus menyisipkan nilai-nilai Injil dan ajaran Yesus ke dalam narasi pewayangan. Hal ini menjadi jalan baru pewartaan yang disukai masyarakat luas, termasuk umat non-Katolik.
Musik Janger dan Dialog Antaragama
Karena letaknya yang berdekatan dengan Bali, Paroki Curahjati juga mengadopsi musik Janger ke dalam liturgi sejak tahun 2002. Musik ini diiringi lagu-lagu dari “Madah Bakti” dan “Kidung Adi”, dengan nuansa pelog yang cocok diselaraskan.
Uniknya, pemusik Janger tak hanya berasal dari umat Katolik, tetapi juga dari komunitas Muslim dan Hindu. Hal ini memperlihatkan kuatnya relasi lintas iman di Paroki Curahjati. Musik menjadi jembatan dialog dan memperkuat semangat persaudaraan yang ramah dan terbuka.
Gereja yang Membumi dan Menyatu
Paroki Maria Ratu Para Rasul Curahjati adalah contoh nyata dari gereja yang membumi, yang tidak hanya mewartakan kabar gembira secara rohani, tetapi juga merangkul budaya lokal dan menjalin persaudaraan lintas iman. Iman yang hidup di Curahjati bukanlah iman yang kaku, tetapi iman yang tumbuh bersama tradisi, nilai gotong royong, dan kepekaan sosial.
Dari tanah pertanian yang subur, dari desa yang sederhana, tumbuhlah komunitas Katolik yang kuat dan kreatif. Paroki ini membuktikan bahwa iman, budaya, dan kebersamaan bisa berjalan seiring sebagai kekuatan membangun Gereja yang hidup dan penuh kasih.