Tonko memulai karir militernya pada 1921 di Kalabahi, Alor, NTT. Ia menikah dengan Aletta Toepa, putri seorang kepala sekolah di Timor, pada 1925. Ia pernah bertugas di Batalyon Infantri VIII di Malang, dan menjadi tahanan perang di interniran Divisi ke-3 saat invasi Jepang ke Malang pada 9 Maret 1942.
Kemudian, Tonko dipindahkan ke tahanan Surabaya dijadikan satu dengan tahanan Batavia serta daerah lain dan dikirim ke beberapa daerah untuk kerja paksa.
Pada 18 April 1943, Tonko beserta 6000 lebih tawanan lain dibawa enam kapal angkut Jepang dari pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menuju Maluku, dan dua kapal menuju Pulau Flores, NTT.
Rombongan Tonko mendarat di Pulau Seram, dan ia tergabung dalam romusha membangun bandara di Amahei hingga Oktober 1943. Setelah itu Tonko dan pekerja romusha lainnya dibawa ke Pulau Haruku, Paloa.
Sejak 2 Oktober 1943, Tonko menderita sakit beri-beri parah karena kelelahan dan ia menumpang di kapal SS Naichan Maru yang dikhususkan untuk tawanan yang sakit saat akan dipulangkan ke Jawa. Ketika singgah di Teluk Ambon, Tonko menghembuskan nafas terakhir dan diduga karena disentri pada 3 Desember 1943, pukul 11.00 WIT di geladak kapal. Ia pun langsung dimakamkan di darat oleh penduduk setempat, namun hingga kini belum ditemukan keberadaan makamnya.
Sebagai bentuk penghormatan kepada anggota keluarganya yang meninggal di tanah bekas Hindia Belanda, anak-anak Tonko dan Aletta menempatkan “Tiga Bangku Kenangan” di Malang untuk warga kota ini pada tahun 2016.
Jejak Keluarga Oosterhuis di Malang
Tahun 1941, keluarga Oosterhuis dipindahkan dari Samarinda ke Malang karena penugasan Tonko sebagai tentara KNIL. Mereka sempat tinggal sementara di Palace Hotel (kini Hotel Pelangi), lalu menyewa rumah di Jalan Muria (Moeriaweg) 32. Anak-anak mereka bersekolah di Lagere School di Jalan Buring, sembari menunggu rumah dinas di kawasan Rampal, tepatnya di Jalan Ksatrian Terusan.
Namun, kedatangan pendudukan Jepang pada Maret 1942 mengubah segalanya. Tonko ditawan dan dikirim ke Surabaya, meninggalkan istrinya yang sedang mengandung anak bungsu, Sonja. Karena Aletta Toepa adalah perempuan berdarah Rote-Bilba, seorang bumiputera; keluarga ini tak dimasukkan ke kamp internir oleh Jepang, berbeda dengan keluarga Belanda murni lainnya.