Sesuatu yang luar biasa , jika di tahun 90 an orang bisa menerbitkan buku. Saya masih ingat salah seorang saudara sepupu saya hampir stress gara-gara impiannya menerbitkan buku saat itu kandas begitu saja.
Bayangkan naskah buku yang sudah diketik dengan mesin tik tersebut selama dia kuliah  5 tahun tidak diterima oleh penerbit, karena belum memenuhi syarat untuk ini itu kata penerbit.
Bukan saudara sepupu saya saja yang mengalami berkali-kali ditolak penerbit, masih banyak para penulis di zaman itu impiannya kandas, gara-gara tulisannya tidak memenuhi peryaratan. Namun banyak juga naskah-naskah buku yang diterima oleh penerbit, setelah melalui perjuangan yang sangat berat dan berliku-liku, ditolak dari satu penerbit ke penerbit lain.
Kenapa tahun 90 an menerbitkan buku sesuatu yang luar biasa? Karena setiap penerbit memiliki visi dan misi yang berbeda. Sehingga sebelum mengirimkan naskah ke penerbit, kita harus melakukan observasi dulu terhadap penerbit. Buku tipe apa yang mereka inginkan , hal ini dilakukan agar kita tidak salah sasaran.
Kemudian teknologi yang digunakan di tahun 90 an tidak secanggih sekarang. Dulunya banyak proses yang dilalui dan serba manual dan semi otomatis. Contohnya dalam mendesain cover saja butuh waktu lama. Zaman sekarang desain cover dalam hitungan menit sudah bisa diselesaikan.
Selain itu , jumlah penerbit pada tahun 90 an tidaklah sebanyak sekarang, kemudian komunikasi  dan informasi zaman dulu tidaklah segampang sekarang. Sekarang saya menerbitkan buku tinggal lihat di website, atau di Sosmed, kemudian bertanya segala sesuatu yang ingin diketahui, bernegosiasi, sesuai, langsung jadi dech bukunya. Tapi dengan syarat tadi loh, naskah bukunya sudah ada.
Penyebab lainnya, tahun 90 an , gerakan literasi belum seheboh sekarang, sehingga hanya orang-orang tertentu saja disaat  yang menulis buku. Penulis, wartawan, atau guru bahasa Indonesia yang hobi menulis.  Pada saat ini, guru dan dosen untuk peningkatan kompetensi salah satunya harus menghasilkan karya seperti buku. Mau tidak mau harus menulis kan?
Begitu juga dengan menulis artikel  di koran pada tahun 90 an, juga tidak segampang sekarang. Karena jenis media cetak tidaklah sebanyak dulu. Sehingga melalui persaingan tingkat tinggi agar tulisan kita bisa terbit di media cetak.
Saat ini, sedetik saja setelah menulis, tulisan kita sudah bisa dibaca oleh ratusan, bahkan ribuan orang dalam waktu yang bersamaan. Contoh sederhana saja, saya mengirim artikel ke kompasiana jam 21.00 WIB, kemudian besok paginya jam 08.00 Wib saya sudah melihat kalau artikel yang saya tulis sudah dibaca oleh 1.120 orang pembaca, Luar biasakan?
Tahun 90 an, masa saya kuliah S1, artikel-artikel yang saya tulis tidak pernah terbit di koran mana saja. Bisa jadi karena belum layak terbit kali ya? He he.
Tapi begitulah realitanya, saya berusaha menulis artikel terus menerus. Dan barulah di tahun 2000 saat saya sudah diwisuda artikel pertama saya terbit di kolom opini koran harian Riau pos saat itu, dan tulisan saya dihargai 50 ribu rupiah.
Zaman sekarang apa yang sulit? Semua serba bisa, bisa apa saja. Menulis artikel gampang tinggal kirim ke email. Kemudian kalau ide ingin dibaca sudah ada wadah yang bisa digunakan untuk menyampaikan aspirasi . salah satunya adalah kompasiana.Bahkan media online sudah menjamur dimana saja, setiap orang bisa menjadi jurnalis, dimana saja dan kapan saja. Seperti yang saya lakukan sekarang. Saya menulis di atas bus tarns kota saat menuju pulang ke rumah. Cukup 20 menit selesai dech satu tulisan.
Adakah alasan lagi untuk tidak memulai menulis dan menerbitkan buku? Tidakah kita ingin beramal dan menyumbangkan sedikit ilmu kita buat generasi penerus bangsa? Tidakkah kita ingin menjadikan itu sebagai ilmu yang bermanfaat kelaknya. Tidakkah  ingin menikmati hari tua dengan jerih payah kita saat ini. Menulislah setiap hari dan rasakan apa yang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H