Mohon tunggu...
Yuyun Wahyuni S
Yuyun Wahyuni S Mohon Tunggu... -

Selalu berusaha memberi dan menjadi yang terbaik untuk semuanya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melihat ke Belakang: Benarkah Surabaya Berpaling Muka dari Dolly?

29 Agustus 2014   00:02 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:15 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Wahyuni Suryaningsih

Mahasiswi Ilmu Sejarah

Universitas Airlangga

Mari sejenak kembali melihat ke belakang (sejarah) tentang dinamika perkembangan kota Pahlawan yang begitu kontroversial di mata publik!

Berbicara tentang Surabaya, maka sejarahnya tak akan lepas dari icon dolly. Di mata publik atau bahkan mancanegara sekali pun, dolly jauh lebih terkenal dibandingkan dengan “Surabaya” itu sendiri. Berdasarkan tulisan “Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly” oleh Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam skripsinya di Jurusan Sosiologi Universitas Airlangga, menyatakan bahwa Istilah Dolly bermula dari sebidang kompleks pemakaman Tionghoa di Putat Jaya, Surabaya. Kompleks tersebut ditutup oleh Pemkot Surabaya pada 1966. Para ahli waris diminta untuk memindahkan jasad para kerabatnya. Bangunan atau gundukan makam kemudian diratakan, kerangka-kerangka yang tersisa dipindahkan. Namun, ada pula gundukan makam yang hanya diratakan tapi kerangkanya tidak dipindahkan dan tepat di atasnya, dibangunlah rumah-rumah penduduk. Pada 1967, muncul seorang wanita bernama Dolly Khavit, yang konon dulunya adalah pelacur, dan kemudian menikah dengan seorang pelaut Belanda. Maka dari situlah, gang dolly dicetuskan oleh pelacur Dolly tersebut yang hingga saat ini berjaya di kota pahlawan. Bahkan dengan mudahnya pula dapat dikatakan bahwa Surabaya itu terkenal dengan dolly-nya. Kalimat itulah yang sudah melekat dan menjadi simbol formal kota Surabaya pada umumnya.

Dolly termasuk dalam kategori lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara. Dalam KOMPAS.com disebutkan bahwa sebelum adanya penutupan lokalisasi, Gang Dolly yang berdekatan dengan kompleks lokalisasi Jarak di Kecamatan Sawahan ini dihuni sebanyak 1.080 pekerja seks komersial (PSK) dan 300 mucikari. Mereka berbaur bersama sekitar 400 warga setempat. Dikarenakan praktik seperti itu sudah terlalu lama, maka warga setempat pun mengalami ketergantungan untuk mengeruk keuntungan ekonomi dari kegiatan prostitusi tersebut. Penghasilan yang didapat dalam satu hari berputar hingga mencapai kisaran 400 juta rupiah. Melihat berbagai dampak yang ditimbulkan, maka walikota Surabaya, Tri Risma Harini memutuskan untuk menutup seluruh aktivitas prostitusi tersebut pada tanggal 18 juni 2014 yang lalu.

Icon Surabaya yang satu ini sungguh mencuatkan perhatian besar masyarakat. Sangat ironis saja apabila kota pahlawan ini dikenal publik dengan citra buruknya. Jika dilihat dari aspek sejarahnya, dengan begitu gigihnya para pejuang dalam membangun citra kemerdekaan lewat pertempuran 10 November 1945, seolah-olah tak ada sedikitpun penghormatan untuk mereka (pejuang). Sungguh hal ini merupakan sebuah bentuk pelecehan perjuangan.

Melihat keadaan dolly yang seperti itu, korbannya pun tidak hanya para pelaku, akan tetapi warga sekitar, remaja, dan anak-anak pun menjadi imbas dari fenomena tersebut. Maka dirasa sangat miris saja apabila pemerintah ataupun masyarakat bersikap apatis dalam menghadapinya. Oleh sebab itu, diperlukan upaya keras untuk mengembalikan citra indah Surabaya. Pembongkaran dolly merupakan salah satu langkah awal sebagai upaya pemulihan kembali citra Surabaya yang telah lama mengalami cacat sejarah sebagai akibat dari bentuk kolonialisasi Belanda. Namun, penutupan dolly tersebut bukan satu-satunya jalan keluar dari proses pemulihan citra Surabaya. Bisa dipertanyakan juga apakah dengan penutupan tersebut membuat Surabaya mampu benar-benar berpaling daripada itu, atau bahkan akibat daripada pembongkaran itu mendorong semakin menjalarnya lokalisasi ke berbagai wilayah.

Maka dari itu, upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pembangunan lokalisasi juga. Namun, lokalisasi disini bukan mengarah pada hal-hal negatif lagi ataupun bentuk seksualitas lainnya. Seperti halnya pencitraan yang telah dilakukan oleh Tri Risma Harini dalam pembangunan Taman Bungkul yang menyandang penghargaan sebagai Taman Terbaik se-Asia: The 2013 Asian Townscape Sector Award, yang mana penghargaan tersebut mampu membawa nama Surabaya terkenal indah di mata dunia. Seharusnya melihat daripada itu, tembusan-tembusan baru pun harus ada dan mampu menyainginya agar Surabaya tidak lagi ter-cap sebagai kota prostitusi. Bisa saja bekas lokalisasi dolly tersebut dirubah menjadi sebuah lokalisasi taman wisata atau didirikannya yayasan pendidikan maupun sosial seperti halnya panti asuhan, panti jompo, bahkan pondok pesantren ysng bertaraf internasional. Sehingga hal itu mampu mengubah pandangan masyarakat secara luas bahwa Surabaya itu tidak lagi terkenal dengan komplek mesum itu lagi (dolly) melainkan terkenal dengan glamour pranatanya.

Mengadakan pembangunan yang tak kalah fenomenal. Itulah yang sepatutnya dilakukan oleh pemerintah daerah maupun Wali kota Surabaya untuk bisa mengembalikan citra baik Surabaya melalui lokalisasi positif seperti halnya yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya. Berpaling sedikit daripada langkah itu, alangkah jauh lebih indah pencitraan itu apabila masyarakat Surabaya juga turut serta berkontribusi di dalamnya. Berkontribusi dalam bentuk sumbangan kharisma masyarakatnya.

Pada dasarnya pencitraan baik itu tidak hanya dibentuk melalui pembangunan-pembangunan yang inovatif, akan tetapi juga kharisma daripada masyarakat itu sendiri sangat berpotensi. Pembenahan kepribadian masyarakat adalah salah satu bentuk pencitraan yang juga cukup menentukan. Pembenahan yang dimaksud dalam hal ini adalah mengubah perilaku dan kebiasaan buruk masyarakat yang cenderung mengarah pada hal-hal negatif, seperti hedonis, materialis, egois, acuh tak acuh, non-etika, bahkan juga dapat dibilang krisis moral. Maka dari sinilah kebiasaan-kebiasaan lama seperti itu seharusnya mampu dibongkar. Berbalik menjadi kebiasaan baru yang lebih beretika, religius, menghargai, peduli serta menghormati satu sama lain, serta sikap-sikap positif lainnya yang mampu mendukung pembangunan citra indah Surabaya itu sendiri. Sehingga Surabaya tidak akan lagi terkenal dengan citra buruknya, akan tetapi berubah menjadi citra yang etis dan estetis. Surabaya akan terkenal dengan pembangunannya serta kharisma masyarakatnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun