Mohon tunggu...
yuti syahyuti
yuti syahyuti Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti di Pusat Riset Koperasi, Korporasi dan Ekonomi Kerakyatan BRIN

Sejak tahun 1992 bekerja sebagai peneliti bidang sosiologi pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, di Bogor. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor tahun 1991, melanjutkan pendidikan master di bidang sosiologi pedesaan IPB juga dan tamat tahun 2002. Saat ini masih mengikuti program doktoral sosiologi di Universitas Indonesia, masuk tahun 2008 blog pribadi = https://webblogsyahyuti.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Opini - Syahyuti

15 Mei 2023   12:05 Diperbarui: 15 Mei 2023   12:14 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

MEMURNIKAN MAKNA “FOOD SOVEREIGNTY

Semestinya “food sovereignty” (FS) diterjemahkan menjadi “kedaulatan petani atas pangan”, bukan “kedaulatan pangan”.

Perjalanan mengikuti perkembangan konsep ini dan aplikasinya di Indonesia sejak 10 tahun terakhir - yang tidak begitu memuaskan - mudah-mudahan tidak terulang lagi. Tidak bisa dipungkiri, “food sovereignty” (yang secara resmi di Indonesia diterjemahkan menjadi “kedaulatan pangan”) adalah konsep yang lahir sebagai respon dari kekecewaan pembangunan pangan yang terjadi di banyak belahan dunia.

Meskipun pembangunan pertanian dan pangan telah mampu mencapai produksi dan produktivitas yang tinggi, namun banyak petani – terutama small farmer -  terutama di negara berkembang, hidup dalam kondisi yang jauh dari sejahtera, berlangsung kerusakan sumber daya pertanian, dan juga perdagangan yang tidak adil.

Banyak pihak tidak puas terhadap kondisi pangan lokal dan perdagangan pangan dunia. Data menunjukkan bahwa meskipun ketahanan pangan tercapai, namun belum mampu menjamin kondisi pangan lokal, serta juga tidak mampu mengangkat martabat petani.

Ketahanan pangan merupakan konsep yang diterima luas di banyak negara dan telah berjalan cukup lama. Konsep ”ketahanan pangan” (food security) mulai digodok semenjak akhir tahun 1970-an, sedangkan “kedaulatan pangan” (FS) mulai diwacanakan semenjak tahun 1992 atau lebih dari 30 tahun setelahnya. Gagasan FS dikembangkan sebagai tanggapan terhadap krisis yang dihadapi petani dunia dan sistem pangan. Intinya, konsep “agribisnis” (mulai tahun 1945) dan “ketahanan pangan (mulai 1975) dianggap belum memuaskan.

Kedaulatan pangan merupakan konsep yang pertama kali dicetuskan pada tahun 1996 oleh kelompok NGO internasional Via Campesina. Batasan resmi nya adalah “the right of peoples to healthy and culturally appropriate food produced through ecologically sound and sustainable methods, and their right to define their own food and agriculture systems” (hak masyarakat atas makanan yang sehat dan sesuai dengan budaya yang diproduksi melalui metode yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, dan hak mereka untuk menentukan sistem pangan dan pertanian mereka sendiri”).

Jadi, tekanannya lebih pada hak orang atau haknya subjek (the right of people ….). Sehingga, Saya pribadi merasa lebih tepat terjemahan “food sovereignty” mestinya bukan “kedaulatan pangan” namun “kedaulatan petani atas pangan”. Karena konsep ini tidak bicara produk (yang sudah diurus dalam pendekatan “agribisnis” dan “ketahanan pangan”), namun bicara produsen utamanya petani kecil. Maka, jika dicermati lebih jauh, konsep FS ini sangat dekat dengan konsep / gerakan Family Farming yang muncul di awal tahun 2000 an.

Secara sederhana food sovereignty berdiri di atas 7 prinsip yaitu:

  1. Fokus pada pangan untuk rakyat
  2. Nilai penyedia pangan
  3. Hak akses terhadap sumber daya alam
  4. Penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan
  5. Pangan untuk pangan dan bukan komoditas yang diperdagangkan
  6. Pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi
  7. Demokrasi dalam kontrol atas pangan

Dalam wacana yang berkembang di dunia akademis, sebagian menganggap bahwa FS adalah lawan dari ketahanan pangan, namun sebagian menganggap sejalan. Pandangan Tramel (2009) misalnya menyatakan: ”Food security and food sovereignty are represented as opposing paradigms of food production”. Namun di Indonesia, Dalam UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan dan kedaulatan pangan diterima keduanya, meskipun tidak jelas bagaimana posisi dan relasi antar keduanya. Yang mana duluan, mana belakangan; yang mana utama dan yang mana penunjang. Selain kedua konsep ini, juga dimasukkan konsep “kemandirian pangan”.

Masuknya aspek kedaulatan pangan ke Indonesia merupakan konsekuensi bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (biasanya disingkat ECOSOC Rights). Basis argumennya adalah bahwa selama ini, negara belum secara sistematis mampu mengakui hak atas pangan warganya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun