Di banyak perusahaan Indonesia, bisik-bisik soal "regenerasi karyawan" kerap bergeser menjadi praktik yang menyakitkan: mengganti pekerja senior dengan tenaga muda demi alasan efisiensi. Pertanyaan mendasarnya: apakah regenerasi itu murni strategi keberlanjutan, atau justru bentuk diskriminasi terselubung terhadap mereka yang dianggap "tua"?Mengapa Karyawan Muda Dianggap Solusi
Secara objektif, karyawan muda memang menawarkan daya tarik: adaptif terhadap teknologi, energik, dan lebih "murah" dari sisi beban gaji. Beberapa perusahaan teknologi global seperti Google dan Meta bahkan menjadikan talenta muda sebagai motor inovasi. Tidak bisa dipungkiri, dalam dunia yang bergerak cepat, semangat muda terasa lebih sesuai dengan kebutuhan pasar yang menuntut kelincahan.
Namun, Apakah Semua Harus Diganti?
Di sisi lain, mengganti karyawan senior secara masif justru berpotensi merugikan perusahaan. Pengalaman, kearifan, dan ingatan institusional mereka tidak bisa digantikan hanya dengan semangat baru.
Contoh jelas terlihat di Jepang. Toyota memilih mempertahankan pekerja senior mereka karena sadar bahwa filosofi kaizen---perbaikan berkesinambungan---tidak bisa dipertahankan tanpa pengetahuan praktis yang diwariskan lintas generasi. Bandingkan dengan beberapa perusahaan start-up di Silicon Valley yang terjebak pada "kultus muda" hingga banyak yang ambruk karena kurangnya kedewasaan dalam mengambil keputusan strategis.
Fenomena di Indonesia: Efisiensi atau Eksploitasi?
Sayangnya, di Indonesia praktik "regenerasi" sering dimaknai terlalu sempit. Tidak sedikit perusahaan yang menyingkirkan pekerja senior hanya demi memangkas biaya gaji dan tunjangan. Ironisnya, mereka yang sudah mengabdi puluhan tahun justru dipensiunkan dini tanpa ada skema transfer pengetahuan yang memadai.
Fenomena ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan sosial, tetapi juga melemahkan perusahaan itu sendiri. Banyak kasus menunjukkan, setelah para senior "disapu bersih", perusahaan kehilangan stabilitas dan arah, karena para karyawan muda belum siap menanggung beban kepemimpinan.
Kolaborasi Antar Generasi: Solusi yang Terlupakan
Regenerasi tidak semestinya identik dengan penggusuran. Justru yang lebih sehat adalah intergenerational collaboration: kaum muda diberi ruang untuk berinovasi, sementara senior berperan sebagai mentor.
Model ini terbukti berhasil di Procter & Gamble (P&G) Amerika, yang menerapkan reverse mentoring: karyawan muda mengajari senior tentang teknologi digital, sementara senior membekali junior dengan strategi dan manajemen risiko. Sinergi ini menghasilkan keberlanjutan yang kokoh tanpa harus mengorbankan salah satu pihak.