Mohon tunggu...
Yusuf Dwiyono
Yusuf Dwiyono Mohon Tunggu... profesional -

Kumpul sama orang gila nggak ketahuan warasnya ......\r\nKumpul sama orang waras, baru ketahuan gilanya .......\r\n(Albert Kenthir)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jangan Ada (Lagi) Sistem Ranking di Sekolah!

11 Juni 2012   10:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:07 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sering kita mendengar sebuah nasihat orangtua kepada anaknya.

“Nak .., coba kamu perhatikan tetangga kita yang bernama Armand, kemarin dia mendapat juara satu olimpiade matematika tingkat kotamadya. Kamu gimana dong, kok sampai sekarang belum kelihatan hasil yang memuaskan?”

Atau mungkin seperti ini.

“Ade .., kenapa prestasi akademik kamu tidak seperti kakak yang selalu membuat bangga Papa dan Mama setiap kali selesai penerimaan rapor?”

Atau bahkan ….

“Papa kalau lihat si Aryani kok seneng banget ya. Orangnya rajin, sopan, dan selalu membantu kerjaan orangtuanya ……”

Sebagai orangtua, kita selalu berfikir bahwa kata-kata di atas dapat menjadikan sebuah motivasi yang ampuh untuk mendorong anak kita menjadi lebih baik. Apa iya begitu? Justru dengan membanding-bandingkan anak kita dengan orang lain, atau anak kita yang satu dengan yang satunya lagi, malahan akan membuat anak kita (yang dibandingkan) menjadi pribadi yang tidak percaya diri dan cenderung ragu-ragu dalam bertindak. Dicap sebagi seorang pecundang juga bisa membuat anak kita menjadi rendah diri dan terlihat kurang berguna di mata orang lain.

Begitu pula sebaliknya, seorang anak yang kebetulan menjadi pembanding cenderung merasa dirinya lebih dari yang lain. Bahkan beberapa kasus, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang anti kritik (merasa dirinya lebih hebat dari orang lain).

Bandingkan dengan dirinya sendiri, bukan dengan orang lain!

Dalam proses pendidikan, seorang anak dikatakan mengalami kemajuan jika dalam dirinya ada “lompatan nilai” yang signifikan dalam dirinya. Dari belum (tidak) mengerti menjadi mengerti. Tadinya tidak bisa menendang bola, menjadi bisa menendang bola. Yang sebelumnya sama sekali tidak bisa bermain gitar, hari ini dia mampu memainkan dua chord. Dan berbagai kasus contoh yang selalu mengacu pada kemampuan diri anak sendiri.

Tentu sangat berbeda jika seorang anak yang nilai matematikanya 6 (enam) dibandingkan dengan anak lain yang nilai matematikanya 9 (sembilan). Selain tidak pada tempatnya, muncul rasa ketidakadilan dan perasaan sakit hati.

Coba kita simak anekdot di bawah ini.

Ayah : “Nak …, waktu seusia kamu, Soeharto ranking satu di sekolahnya. Apa nggak malu, kok kamu sekolahnya cuma ranking 20?”

Anak : “Tapi waktu seusia ayah, ia menjadi presiden. Kok ayah cuma jadi pegawai biasa?

Sentilan si anak yang sangat lugu sungguh mengena di hati!. Bagaimana jika kita yang berperan sebagi ayah? Sakit hati, merasa dipermalukan, menjadi rendah diri, dan sekerenjang perasaan yang tidak mengenakan berkumpul menjadi satu.

Penerapan Ranking di Sekolah?

Saya yakin kita sering menemukan sebuah kasus anak yang nilai kognitif-nya (akademik) tinggi, namun sangat lemah di psikomotor (olahraga misalnya). Banyak pula kasus anak yang nilai ilmu soial-nya tinggi, namun pencapaian nilai eksakta-nya sangat rendah. Dan berbagai macam kombinasi antara yang kognitif, afektif, dan psikomotor yang cenderung saling berlawana satu sama lain.

Nah, sekarang marilah kita menyimak contoh kemampuan beberapa anak di bawah ini:

1.Armand : Memiliki nilai tinggi pada mata pelajaran IPA dan IPS. Sementara  nilai pelajaran Olahraga, Seni Budaya, dan Muatan Lokal yang rendah.

2.Hum : memilki nilai tinggi pada pelajaran Bahasa dan Ilmu Sosial, namun pelajaran IPA pas-pasan dan cenderung kurang baik pada nilai Agama dan PKn.

3.Heri : memiliki nilai tinggi pada pelajaran Seni Budaya, Olahraga, Agama, dan PKn. Sementara nilai IPS dan IPAnya kurang memuaskan.

Kalau kita mengaku orang (seorang pendidik) yang hebat, lalu bagaimana cara kita agar bisa mengukur ketiga anak di atas dengan menggunakan sebuah parameter yang sama?

Saya yakin tidak ada orang yang mampu!

Dengan menarik sebuah analogi empiris, sudah selayaknya yang namanya “sistem ranking” di sekolah harus ditiadakan.

Catatan :


  1. Semua Sekolah Internasional di Indonesia tidak menggunakan sistem ranking.
  2. Finlandia sebagai Negara yang sangat maju di bidang pendidikan juga tidak menggunakan sistem ranking.
  3. Sekolah tempat saya mengajar juga tidak menggunakan sistem ranking.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun