Di sebuah ruang OSIS sebuah SMA, Anik menangis tersedu-sedu. Beberapa temannya ternyata meledek dandanannya yang terlalu menor. Terjadilah sedikit keributan di dalam ruangan dengan saling menyalahkan satu sama lain.
“Sudahlah .., tolong jangan diperpanjang lagi hal sepele ini. Sebentar lagi kita akan pentas di atas panggung,” Bertha angkat bicara dengan harapan suasana dingin kembali.
“Tapi kita kan satu tim, bagaimana nanti kita mau pentas sementara dandanan Anik yang mirip ondel-ondel begitu,” balas Maria sewot.
Merasa dandanannya diusik lagi oleh dengan kata “ondel-ondel”, Anik tambah sedih dan mengambil keputusan untuk tidak ikut pentas di panggung.
“Anik, kita latihan dance-nya kan berdelapan, kalau kamu tidak ikut berarti nanti penampilan kita jadi ganjil dong. Ayo dong kita semuanya kompak dengan tidak usah membahas hal ini lagi,” ujar Bertha.
Namun Anik sudah mengambil keputusan akhir tidak mau ikut pentas. Ia sangat kecewa. Setelah beberapa kali dibujuk, Anik tetap pada keputusannya untuk mogok pentas.
Takut kalau pentas dance kali kurang sukses, Bertha mengambil inisiatif memanggil guru pembimbing ekskul dance untuk mengklarifikasi keadaan. Tak lama kemudian, masuklah Bu Dita dengan didampingi Bertha ke ruang OSIS.
“Anak-anak semuanya, saya sebagi guru pembimbing kalian, sangat kecewa dengan ketidakkompakan kalian kali ini. Apapun alsannya, sebentar lagi kalian harus pentas sesuai dengan agenda yang telah dijadwalkan. Titik. Tidak ada pertanyaan maupun tanggapan. Mengerti kalian?”
“Mengerti Bu!!” sahut mereka bersamaan.
“Ya sudah kalau begitu, persiapkan pementasan kalian di panggung nanti,” Bu Dita berucap sambil hendak meninggalkan ruangan.
“Oh ya, sebelum kalian pentas, kenapa kalian taruh ondel-ondel ini di sekretariat OSIS? Tolong ondel-ondelnya ditaruh saja di depan pintu gerbang ……..”
